Sebagian
publik menilai langkah Presiden Prabowo Subianto merupakan cara untuk
meminimalisir pengaruh Erick yang dikenal sebagai orang dekat Jokowi.
Tafsir ini tidak sepenuhnya salah. Tetapi jangan lupa, justru jabatan
Menpora menyimpan peluang politik yang jauh lebih besar, ia bisa menjadi
pintu masuk Erick untuk menghimpun kekuatan generasi muda, milenial,
dan Gen Z, lewat jalur olahraga dan fanatisme supporter yang massif di
sebanyak cabang olah raga.
Pertanyaan besarnya apakah Presiden
Prabowo tidak sadar bahwa Erick bisa menjadikan jabatan barunya sebagai
kendaraan menuju 2029? Ataukah justru inilah bagian dari strategi
Prabowo menyiapkan “penerus cadangan”?
Sebab, jika Erick
berhasil mengonsolidasikan basis anak muda, ia akan menjadi pemain
penting dalam percaturan politik berikutnya, entah sebagai calon
presiden atau minimal calon wakil presiden.
Namun, jalan itu
tentu tidak mulus. Peta politik nasional sedang dipenuhi figur-figur
muda lain yang tak kalah strategis. Ada Gibran Rakabuming Raka, wapres
Prabowo, yang masih membawa kekuatan ayahnya, Presiden ke-7 RI, Jokowi,
ditopang pula mesin PSI yang dipimpin putra bungsu Jokowi, Kaesang
Pangarep. Kombinasi ini jelas menjadikan keluarga Jokowi tetap punya
pengaruh signifikan dalam konstelasi politik nasional.
Lalu ada
Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang kini menjabat Menko Pembangunan
Strategis. Ia mewarisi jaringan politik ayahnya, Susilo Bambang
Yudhoyono mantan Presiden ke-6 RI, Ketua Umum Partai Demokrat, serta
dukungan luas dari jaringan alumni AKABRI angkatan 2000 dan alumni SMA
Taruna Nusantara, yang kini mulai tersebar di berbagai jabatan strategis
kabinet Merah Putih. Ini bukan sekedar modal simbolis, melainkan modal
struktural yang bisa menjadi mesin politik riil dalam jangka panjang.
Muhaimin
Iskandar (Cak Imin), Ketua Umum PKB sekaligus Menko Pemberdayaan
Rakyat, juga mulai menata kader-kadernya di kabinet Prabowo. Basis
tradisional NU yang menjadi fondasi PKB tetap menjadi salah satu kantong
politik terbesar yang tak bisa diabaikan.
Tak kalah penting, ada
Puan Maharani, Ketua DPR-RI sekaligus Ketua PDIP, yang masih menjadi
representasi kuat politik nasionalis lama. Di lingkaran legislatif juga
muncul Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR RI sekaligus salah satu
pimpinan Partai Gerindra, yang sejak awal pemerintahan Prabowo memainkan
peran penting dalam menjembatani kepentingan lintas kelompok civil
society.
Di luar struktur pemerintahan, muncul tokoh-tokoh
yang dianggap representasi buruh pekerja sekaligus menjadi simbol civil
society dan aktivis gerakan yang dalam sejarah Indonesia memiliki peran
penting sebagai kaum gerakan terpelajar. Jumhur Hidayat, Ketua Umum
KSPSI, aktivis gerakan senior adalah salah satu contohnya. Sejak era
Megawati, SBY, hingga kini, ia konsisten membela hak-hak buruh, dengan
dukungan massa besar dalam berbagai aksinya dan selalu siap turun ke
jalan.
Di sisi lain, ada Anies Baswedan, yang
tetap punya basis dukungan dari kalangan pemilih alternatif
pasca-pilpres lalu. Ganjar Pranowo juga masih eksis sebagai figur PDIP,
meskipun pengaruhnya kini lebih banyak bergantung pada arah sikap
partai.
Kesemua figur ini baik yang muda maupun yang sudah
mapan menjadi variabel penting dalam kontestasi politik ke depan. Mereka
punya peluang nyata untuk ikut menentukan wajah kepemimpinan nasional
2029.
Inilah yang membuat situasi politik hari ini begitu cair.
Figur-figur lama maupun baru, dengan modal dinasti, organisasi, maupun
basis civil society, siap melompat di tengah arus politik digital yang
semakin tak tertebak. Arus ini membawa politik Indonesia ke panggung
yang penuh manuver, gesekan kepentingan, dan pro-kontra tajam. Di titik
ini, Erick Thohir tidak berjalan sendirian ia justru masuk ke arena
pertarungan yang dipenuhi pemain besar dengan modal politik yang
sama-sama kuat.
Artinya, menjelang 2029 kita sedang memasuki
babak baru politik nasional, era transisi generasi. Kaum tua mulai
menepi, sementara anak-anak muda dari berbagai trah politik tampil
berebut panggung. Tetapi, apakah bangsa ini cukup hanya disuguhi pilihan
antara dinasti politik, figur bermodal, atau tokoh yang lihai bermain
di jagat digital? Jawabannya jelastidak.
Seorang pemimpin bangsa
tidak boleh hanya lahir karena faktor keturunan, kekuatan modal, atau
sekadar popularitas di media sosial. Pemimpin sejati harus hadir karena
kualitasnya yang teruji, pengalaman, kapasitas, karakter kepemimpinan,
serta visi-misi yang benar-benar berpihak kepada rakyat. Tanpa itu,
Indonesia hanya akan melahirkan boneka politik: tampak kuat di luar,
rapuh di dalam.
Lebih jauh lagi, siapa pun yang memimpin
Indonesia pasca-2029 tidak bisa menghindar dari persoalan mendasar arah
ekonomi. Selama beberapa dekade, kita hidup dalam dominasi kapitalisme
neoliberal, yang membuat kekayaan negeri ini lebih banyak mengalir ke
pemodal besar, bahkan dikuasai asing. Kalau hal ini terus berlanjut,
siapa pun presidennya hanya akan menjadi manajer kepentingan kapitalis
global, bukan pemimpin rakyat Indonesia.
Maka langkah Prabowo
memperkuat ekonomi rakyat mendorong kedaulatan pangan, UMKM, koperasi,
hingga proteksi bagi sektor strategis adalah langkah yang harus
dilanjutkan. Tetapi langkah itu masih setengah jalan. Indonesia
membutuhkan perubahan sistemik ekonomi politiknya agar keluar dari
belenggu neoliberal menuju ekonomi rakyat atau ekonomi sosialis, yang
berpijak pada pemerataan, kedaulatan, dan keadilan sosial. Tanpa fondasi
ini, mustahil mimpi “ekonomi pro-rakyat” akan terwujud.
Karena
itu, transisi politik menuju 2029 bukan sekedar perebutan kursi
kekuasaan antar-dinasti, antar konglomerat politik, atau antar celebrity
digital. Pertaruhan yang sebenarnya adalah, apakah bangsa ini mampu
melahirkan pemimpin muda yang berakar pada rakyat, dan sanggup mengubah
sistem ekonomi agar benar-benar berpihak pada kepentingan nasional?
Jika
jawabannya iya, maka wajah Indonesia pasca-2029 akan benar-benar
berubah lebih mandiri, lebih adil, dan lebih kompetitif di panggung
global. Jika tidak, maka transisi generasi hanya akan menghasilkan wajah
baru dari rezim lama: muda di kulit, tetapi tua dalam orientasi, tetap
tunduk pada kepentingan kapitalis asing.
Penutup
Penempatan
Erick Thohir di Menpora mungkin bisa dibaca sebagai upaya mengecilkan
ruangnya, tetapi jangan salah, ini juga bisa menjadi awal panggung besar
yang kelak membuatnya melompat ke 2029. Namun, siapapun figur mudanya
Erick, Gibran, Kaesang, AHY, Jumhur Hidayat, Cak Imin, Anies Baswedan,
atau lainnya tidak boleh dilahirkan semata karena dinasti, modal, dan
popularitas digital. Pemimpin masa depan Indonesia harus lahir dari
kualitas yang teruji dan berani mengubah orientasi ekonomi bangsa dari
neoliberal menuju ekonomi rakyat. Tanpa itu, pergantian generasi
hanyalah kosmetik belaka.
Agusto Sulistio
Penulis adalah pegiat Sosmed dan aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo)
BERITA TERKAIT: