KAPITALISME tidak lagi bergerak dalam rupa-rupa lama alat kerja yang kumuh nan usang. perusahaan yang dahulu menjadi top global secara berangsung mengalami deflasi dan digantikan dengan dengan alat-alat ultra canggih hasil rekayasa teknologi. keberadaan kapitalisme dalam definisi sebagai alat penindas kita tidak terdengar meriah. ketergantungan pada alat kerja kini berubah menjadi budaya keseharian yang dirayakan dan diajarkan sebagai alat rujukan.
Perubahan rumit pewacanaan kapitalisme masa kini dicermati dan dikritisi oleh mantan menteri keuangan Yunani, Yanis Varoufakis. Dalam bukunya "Technofeudalism: What Killed Capitalism (2024)", ia berpendapat, pada dasarnya, metode produksi baru (kapitalisme) telah muncul karena perusahaan baru seperti Google, Facebook, Amazon, Alibaba, dan Tik Tok mulai mendominasi ekonomi global.
Kelompok posisi orang terkaya dunia merupakan pemimpin perusahan teknologi bahkan tidak tergeser sedikitpun. Pengaruhnya bahkan menjadi fantasi bagi penggemarnya. Elon Musk pemilik Tesla dan Aplikasi “X” bahkan sempat masuk gedung putih menemai Presiden Donald Trump lewat pengaruh pundi kekayaannya.
Menurut Varoufakis, feodalisme teknologi bekerja dalam kantong ritual konsumsi digital, mengandalkan sistem cloud. Dimulai dari situasi di mana keuntungan kapitalis berasal dari kemampuan mereka untuk mengatur produksi industri, dan berkembang ke situasi di mana keuntungan perusahaan berasal dari pengeluaran untuk akses ke infrastruktur komunikasi (tik-tok, Instagram, Twitter, dll).
Para penguasa perusahaan digital tidak peduli bagaimana mereka konsumennya begitu simpatik dan ambisius pada produknya. Terkadang kontak antara pengguna dan pemilik tidaklah jelas. Pengguna medsos bisa menghabiskan berjam-jam dengan layar hingga batas kewajaran. Hal ini sejatinya juga menguntungkan pemilik langgam digital karena pundi dan keterikatan selalu terjalin. Data We Are Social, penggunaan media sosial awal 2025, Indonesia masuk jajaran negara yang paling lama mengakses media sosial. Publik Indonesia menghabiskan 188 menit per hari di media sosial, atau sekitar 3 jam 8 menit.
Bersaing Ketat
Teknologi feodalisme tetap memiliki masalah. Nilai kerja sama lama telah dilupakan oleh sejumlah raksasa teknologi sejak munculnya AI. Selain itu, perusahaan di seluruh dunia sedang dalam perang persaingan pengembangan AI. Situasi ini muncul karena keunggulan teknologi ini sangat mempengaruhi masa depan mereka. Sebagai ilustrasi, Google pernah terlibat dalam persaingan sengit dengan Microsoft karena kedua perusahaan mengejar dominasi kecerdasan buatan.
Kenyataannya feodalisme teknologi masa kini juga sembari menebar ancaman. Mereka yang tidak berada di dalam pertarungan itu sebaiknya bersiap diri. Mereka bisa terlempar dari pasar, pilihannya memang bergabung dengan perusahaan besar atau saham mereka dibeli oleh investor baru.
Kebijakan internal dalam perusahaan raksasa digital juga berdampak dengan ekosistem kerja berbagai negara. Fenomena Google mem-PHK ribuan orang di berbagai deks yang tidak lagi diperlukan dengan adaptasi baru kerja berbasis AI. Sejumlah negara gagap melihatnya, alih-alih mengadaptasi justeru terjebak pada kemungkinan resesi akibat jumlah PHK dan lapangan kerja yang tidak sepadan. AI mungkin mimpi yang tiba-tiba nyata dan digunakan dengan skala dasar, namun kejutannya justeru membuat raksasa pengembang “Cloud-isme” semakin berjaya. Mereka tidak siap untuk menggunakan teknologi ini di era AI, tetapi juga tak berani menolak itu. Sebagian besar perusahaan teknologi, baik di Indonesia maupun di luar negeri, masih mem-PHK karyawan mereka.
Menjaga Tatanan
Pengembangan AI bukan saja soal adu mutakhir, tetapi perlombaan mengalienasikan penggunanya. Kesadaran individu seolah lenyap, rasionalitas dan kritisme terbungkus perburuan byte-byte. Teknologi Feodalisme mengurai pemusatan kontrol teknologi. Masing-masing pemilik seolah memiliki agenda khusus. Wilayah sistem politik juga terkadang dilema, antara teknologi itu mendukung atau mengganggu jalannya sistem di dalam sebuah negara tersebut.
Potret pemilu Amerika Serikat merupakan cerminan betapa rumitnya demokrasi liberal dipatok dengan deras pengaruh teknologi “X” dengan sokongan penuh Elon Musk. Mereka menggunakan algoritma untuk mempengaruhi dan memanipulasi preferensi pemilih melalui teknologi pemantauan. Sejumlah negara, termasuk negara-negara demokrasi, telah menerapkan sistem pemantauan untuk memantau perilaku warganya.
China bahkan menerapkan sistem sosial rating untuk mengawasi dan menilai perilaku warganya. Futurolog seperti Yuval Noah Harari, mengatakan perkembangan kecerdasan buatan, info-teknologi, dan bio-teknologi di abad ke-21 satu dapat menghasilkan "kelas manusia yang tidak berguna". Nyatanya ini berbeda tidak seperti revolusi industri abad ke-18, yang melahirkan "kelas pekerja". Karena keberhasilan menggiring manusia menjadi "boneka teknologi", Yuval memperkirakan bahwa kecerdasan buatan akan menghancurkan demokrasi liberal.
Masih menurut Yuval, bahwa sistem pemrosesan data adalah perbedaan utama antara kediktatoran dan demokrasi. Baginya, kediktatoran memfokuskan informasi dan kekuasaan pada satu individu atau institusi, sedangkan sistem demokrasi memberikan kekuasaan kepada berbagai lembaga dan personel untuk memproses dan mengambil keputusan.
Era informasi abad 20, membuat kediktatoran tidak efisien. Dengan teknologi yang ada saat itu, tidak ada lembaga tunggal atau individu yang mampu memproses banjir informasi yang berakibat salahnya pengambilan keputusan.
AI membuat masalah memproses volume data yang begitu besar mudah dan dapat desentralisasi. Pemusatan pengambilan keputusan mungkin lebih efektif jika pemrosesan data desentralisasi. Dalam sistem demokrasi, pendelegasian pengambilan keputusan dan wewenang pengolahan informasi tidak lagi diperlukan. AI dapat melakukan keduanya dengan baik. Kekuasaan abad 21 akan mengarah pada dominasi kekuasaan dan pusat pengolahan data informasi. Pada posisi ini keuntungan besar akan mengarah pada tuan-tuan perusahan teknologi.
Selama dua dekade awal abad ke-21, transformasi teknologi informasi tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah demokrasi. Dengan pertumbuhan perusahaan teknologi besar seperti Amazon, Apple, Facebook, Google, dan Twitter, mereka semakin menguasai industri informasi. Mereka tidak menjual iklan, tetapi menarik perhatian kita untuk mengumpulkan data, bukan kita yang membeli, tetapi produk mereka. Dimana kepemilikan sebuah data menjadi kunci kekuatan terpenting dalam dinamika pertahanan apapun. Mereka bahkan mulai menggabungkannya dengan teknologi informasi dalam bisnis baru mereka seperti bio-teknologi.
Penggabungan bio-tek dan info-tek akan meningkatkan kekuatan mereka. Selain sebagai kekuatan ekonomi, juga sebagai kekuatan politik. Mereka tidak hanya mampu mengontrol komunikasi dan informasi tetapi juga manusianya. Mereka berkuasa dalam penyebaran informasi, memiliki informasi tentang ratusan juta hingga miliaran orang, dan memiliki platform yang dapat digunakan untuk mobilisasi politik. Kekuasaan yang dapat membahayakan demokrasi
Maka seyogyanya, kedepan potensi penggunaan platform internet harus diperhatikan. Pemerintah harus menerapkan aturan anti-trust dan anti-monopoli untuk memastikan bahwa korporasi teknologi tidak dapat menguasai akses komunikasi dan informasi publik, dan menggunakan kekuatan ini untuk memanfaatkannya sebagai kekuatan politik. Korporasi teknologi dan aplikasi platformnya harus diatur segera agar tidak disalahgunakan untuk merusak demokrasi, ekonomi, dan sistem sosial yang ada.
*Penulis adalah Alumni Magister FIB UI dan Peneliti Politika Research Consulting (PRC)
BERITA TERKAIT: