Runtuhnya Dogma Pasar Bebas

Oleh: Muchamad Andi Sofiyan*

Minggu, 01 Juni 2025, 00:36 WIB
Runtuhnya Dogma Pasar Bebas
Ilustrasi/RMOL
KETIKA Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, memberlakukan tarif masuk terhadap produk-produk impor dari Tiongkok, dunia menyaksikan sesuatu yang ironis. Negara yang selama ini menjadi penginjil utama ideologi pasar bebas justru mundur dan menutup diri. Kebijakan proteksionis Trump bukan sekadar strategi ekonomi, melainkan pengakuan terang-terangan bahwa mekanisme pasar bebas global tak lagi relevan dengan realitas. Ini adalah tanda zaman: dogma pasar bebas telah gagal memenuhi janji-janji sucinya.

Namun di Indonesia, sebagian elite ekonomi dan pembuat kebijakan masih menjunjung tinggi pasar bebas seolah-olah ia adalah ajaran suci yang tak boleh diganggu gugat. Banyak undang-undang kita justru disusun demi menyenangkan investor asing dan mengikuti arahan lembaga keuangan global, bukan demi memenuhi kebutuhan rakyat. Padahal, ekonomi seharusnya tidak dogmatis. Ia harus pragmatis, kontekstual, dan berpihak pada kepentingan nasional. Kita tidak bisa terus menyembah pasar ketika negara-negara besar saja sudah mulai mempertanyakannya.

Dalam situasi ini, kita perlu kembali pada landasan paling mendasar yang telah digariskan oleh para pendiri bangsa: Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal ini dengan tegas menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan kekayaan alam digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tiga ayat ini adalah ideologi ekonomi Indonesia. Ia menolak pasar bebas murni dan menghendaki ekonomi yang berdaulat, terkontrol, dan berpihak pada rakyat banyak.

Sayangnya, semangat konstitusi ini terpinggirkan selama dua dekade terakhir. Era reformasi telah menjadi ladang subur bagi penetrasi ideologi neoliberal. Desakan liberalisasi dari IMF, World Bank, dan pelbagai konsultan global membuat banyak undang-undang kita tersusun lebih sebagai manual investasi daripada sebagai instrumen keadilan sosial. Akibatnya, Indonesia mengalami pelemahan industri nasional, maraknya impor, penguasaan asing atas sumber daya strategis, hingga deindustrialisasi dini.

Untuk memperbaiki arah, kita harus secara serius dan terbuka melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh undang-undang yang dibuat dengan logika pasar bebas. Negara harus kembali menjadi pengendali, bukan penonton. Berikut adalah daftar undang-undang yang perlu direvisi secara prioritas karena terbukti melemahkan kedaulatan ekonomi nasional.

Pertama, UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang terlalu pro-investor asing dan mengurangi ruang negara dalam mengatur sektor strategis. Kedua, UU Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020 dan revisinya UU No. 6 Tahun 2023), yang melemahkan perlindungan tenaga kerja dan lingkungan hidup. Ketiga, UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, yang mengutamakan liberalisasi ekspor-impor tanpa melindungi industri lokal.

Lalu ada UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba, yang memberi dominasi pada swasta dan asing dalam sektor energi strategis. UU No. 5 Tahun 1999 tentang Anti-Monopoli juga terlalu bergantung pada mekanisme pasar tanpa proteksi terhadap UMKM. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup lemah dalam menghadapi eksploitasi besar-besaran.

Tak kalah penting, sektor transportasi strategis juga telah diliberalisasi melalui UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Listrik, sebagai infrastruktur dasar, telah diprivatisasi melalui UU No. 30 Tahun 2009. Di sektor keuangan, UU No. 10 Tahun 1998 dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memperluas akses asing dan finansialisasi tanpa arah pembangunan nasional.

Paling krusial adalah UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (yang kemudian direvisi dengan UU No. 6 Tahun 2009). Undang-undang ini melepaskan kedaulatan moneter dari tangan negara. Bank Indonesia menjadi terlalu independen dari pemerintah, tetapi tidak independen dari tekanan pasar dan lembaga keuangan global. Ini harus diakhiri.

Revisi terhadap semua undang-undang ini bukan sekadar perubahan redaksional, tetapi merupakan langkah ideologis untuk mengembalikan kedaulatan negara dalam pengelolaan ekonomi. Kita membutuhkan sistem yang berpijak pada konstitusi, bukan pada tekanan lembaga pemeringkat atau perjanjian dagang yang timpang. Ekonomi Indonesia harus dibangun atas dasar keadilan sosial, bukan efisiensi kapitalis semata.

Kini, saat dunia mulai sadar bahwa pasar bebas bukan jawaban, Indonesia justru punya kesempatan emas untuk menjadi pelopor ekonomi berdaulat yang berpihak pada rakyat. Kita sudah punya fondasi itu dalam UUD 1945. Tinggal berani atau tidak kita menegakkannya.

Jika negara-negara besar saja kini mulai menutup pintu terhadap liberalisasi, mengapa kita masih membukanya lebar-lebar? Sudah saatnya kita berhenti menjadi murid yang patuh pada dogma luar, dan mulai menjadi bangsa yang membangun masa depan dengan ideologi sendiri, yakni ideologi konstitusi. rmol news logo article

*Penulis adalah penggiat literasi dari Republikein StudieClub

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA