Kasus Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi yang mendapatkan gelar doktor dengan kecepatan mencurigakan, akhirnya berujung pada sanksi bagi para pembimbing dan Direktur SKSG UI.
Tapi anehnya, sang mahasiswa justru melenggang tanpa hukuman berat. Ada apa ini?
Mahasiswa Suci, Pembimbing Bersalah?Di mana logikanya sebuah disertasi bermasalah dianggap hasil kerja individu yang tidak bermasalah?
Jika ada pelanggaran akademik, harusnya sanksi jatuh kepada semua yang terlibat, termasuk mahasiswa.
Tapi yang terjadi di UI justru membingungkan. Para pembimbing dihukum, Direktur SKSG disanksi, sementara Bahlil hanya disuruh menulis ulang disertasinya dengan topik baru. Seolah-olah ia hanyalah korban, bukan bagian dari masalah itu sendiri.
Publik pun bertanya-tanya, bagaimana mungkin seseorang yang berada di pusat kontroversi justru dibiarkan bebas?
Kalau mahasiswa lain melakukan hal serupa, apakah UI akan memberi perlakuan yang sama? Atau ini hanya berlaku bagi mereka yang punya jabatan di pemerintahan?
UI dan Dilema Keputusan RektorKeputusan UI dalam kasus ini terasa setengah hati. Di satu sisi, universitas ingin menunjukkan bahwa mereka serius menindak pelanggaran akademik.
Di sisi lain, mereka seolah takut menyentuh aktor utama dalam kasus ini. Ketidaktegasan ini memunculkan dugaan bahwa ada tekanan politik dalam pengambilan keputusan.
Apakah Rektor UI takut menghadapi konsekuensi jika memberikan sanksi lebih berat kepada seorang menteri?
Ataukah ada bisikan dari Istana yang membuat keputusan harus dibuat "hati-hati" agar tidak menimbulkan kegaduhan politik?
Di balik tembok kampus yang seharusnya menjadi benteng intelektualisme, justru ada tanda-tanda kompromi yang mencederai independensi akademik.
Intervensi Istana atau Ketakutan Kampus?Tak bisa dipungkiri, dunia akademik di Indonesia masih sering kali tunduk pada kekuatan politik. Kampus yang seharusnya menjadi ruang bebas berpikir, justru bisa berubah menjadi alat legitimasi bagi penguasa.
Jika memang tidak ada intervensi dari Istana, UI harus membuktikannya dengan bersikap tegas kepada semua pihak yang terlibat. Tapi kalau keputusan ini memang hasil kompromi, maka inilah bukti nyata bahwa kampus pun tak luput dari cengkeraman kekuasaan.
Jika UI ingin menjaga marwah akademiknya, maka tidak ada alasan untuk memberikan perlakuan istimewa kepada Bahlil. Kalau pembimbing dan pejabat akademik di SKSG bisa dihukum, maka mahasiswa yang bersangkutan juga harus bertanggung jawab.
Kalau tidak, kampus ini hanya akan menjadi panggung sandiwara, tempat di mana kekuasaan lebih berharga dari ilmu pengetahuan.
Akankah UI Berani Melawan?Sejarah mencatat bahwa kampus selalu menjadi garda depan dalam memperjuangkan kebenaran.
Namun, dalam kasus ini, UI justru tampak gamang dan ragu-ragu. Jika benar ada tekanan politik yang membuat mereka tidak berani bertindak tegas, maka ini bukan sekadar krisis akademik, melainkan krisis moral.
Apakah UI akan tunduk pada kepentingan politik, ataukah mereka akan berdiri tegak menjaga integritas akademik?
Inilah pertanyaan besar yang harus dijawab, bukan hanya oleh UI, tapi oleh seluruh elemen masyarakat yang masih peduli pada kejujuran dalam dunia pendidikan.
Penulis adalah Alumnus UI; Ketua BEM UI 2003-2004
BERITA TERKAIT: