Sejak awal tahun ini, tanah di Nangahale menjadi medan sengketa antara masyarakat adat dan PT Kristus Raja Maumere (Krisrama), sebuah perusahaan milik Keuskupan Maumere.
Bagi masyarakat adat, tanah ini adalah warisan leluhur yang telah dihuni turun-temurun. Sementara bagi institusi Gereja, lahan tersebut adalah bagian dari aset hukum yang telah diberikan negara melalui Hak Guna Usaha (HGU).
Namun, yang membuat konflik ini lebih kompleks bukan hanya klaim kepemilikan semata, melainkan perang opini yang melampaui fakta. Dalam diskusi publik, yang berkembang bukan lagi soal siapa yang memiliki hak atas tanah ini, melainkan siapa yang dapat membentuk narasi paling meyakinkan di hadapan publik.
Ketika Gereja Dituduh MenindasBagi sebagian besar warga Sikka, Gereja Katolik lebih dari sekadar institusi keagamaan; ia adalah fondasi moral, tempat berlindung di tengah gelombang perubahan sosial dan ekonomi. Namun, dalam konflik Nangahale, citra ini diuji.
Seiring dengan penggusuran sekitar 100 rumah masyarakat adat pada Januari lalu, muncul serangkaian tuduhan bahwa gereja telah berubah menjadi aktor penindas.
Narasi ini semakin diperkuat dengan munculnya berbagai pernyataan dari LSM yang menuduh gereja sebagai pihak yang "merampas hak rakyat" dan "melakukan pengusiran paksa."
Media sosial pun ramai dengan opini yang menyebut penggusuran ini sebagai bentuk kolonialisme baru, di mana institusi agama yang seharusnya melindungi umat justru dianggap sebagai perpanjangan tangan kekuasaan.
Namun, pihak keuskupan menolak tuduhan tersebut. "Kami bukan perampas," kata RD Yan Faroka, salah satu perwakilan PT Krisrama. "Tanah ini telah dikelola secara sah berdasarkan hukum, dan keputusan yang diambil bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk kebaikan bersama."
Hak Adat vs Hukum NegaraDi sisi lain, masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut menganggap tanah di Nangahale sebagai bagian dari identitas mereka. "Ini bukan sekadar soal tanah," kata Maximilianus Herson Loi, Ketua AMAN Nusa Bunga, sebuah organisasi yang memperjuangkan hak masyarakat adat. "Ini soal sejarah, warisan, dan keberlangsungan hidup kami."
Menurut mereka sejak ratusan tahun lalu, masyarakat adat telah bermukim dan bertani di tanah ini. Mereka memiliki dokumen-dokumen tradisional, termasuk catatan baptisan dari era kolonial, yang mereka yakini sebagai bukti sejarah keberadaan mereka jauh sebelum negara menetapkan status hukum atas lahan tersebut.
Namun, di mata hukum negara, kepemilikan tanah tidak hanya ditentukan oleh sejarah, tetapi juga oleh legalitas administrasi. HGU yang dimiliki PT Krisrama memberikan dasar hukum bagi gereja untuk mengelola lahan tersebut. Dan di sinilah konflik ini semakin rumit: bagaimana hukum modern memperlakukan hak-hak adat yang sering kali tidak terdokumentasi dalam sistem legal formal?
Perang Narasi dan Opini SesatDalam ketegangan ini, opini publik menjadi medan pertempuran lain yang tak kalah sengit. Sejumlah kelompok mulai menggunakan konflik ini sebagai alat untuk menyebarkan narasi yang lebih besar—tentang ketidakadilan agraria, ketimpangan sosial, dan bahkan ketidakpercayaan terhadap institusi agama.
Sebagian aktivis menuduh gereja sebagai bagian dari sistem yang mendukung perampasan tanah, sementara di sisi lain, ada pula yang menuding LSM dan masyarakat adat sebagai provokator yang mempolitisasi isu ini untuk keuntungan kelompok tertentu.
Petrus Selestinus, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia, bahkan menyerukan agar aparat menangkap pihak-pihak yang dianggap sebagai "provokator" dalam konflik ini. "Banyak informasi yang dimanipulasi, dan ini berbahaya," ujarnya.
Dalam arus informasi yang semakin kabur, pertanyaan utama menjadi semakin sulit dijawab: apakah konflik ini benar-benar murni soal hak tanah, atau sudah menjadi bagian dari pertempuran ideologis yang lebih luas?
Mencari Jalan TengahDua hal yang sama-sama benar bisa saling bertentangan. Gereja punya dasar hukum, masyarakat adat punya hak historis. Yang diperlukan bukan lagi perdebatan tentang siapa yang paling benar, tetapi bagaimana menemukan jalan tengah yang adil bagi kedua belah pihak.
Di banyak negara, konflik seperti ini telah diselesaikan melalui model kompromi: skema pengelolaan bersama, kompensasi yang adil, atau redistribusi tanah yang lebih berkeadilan. Namun, apakah pendekatan serupa dapat diterapkan di Nangahale?
Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, mudah bagi kita untuk terjebak dalam narasi yang sudah dikondisikan oleh opini publik. Tetapi di tengah perang persepsi ini, yang paling berharga adalah kebenaran—dan sayangnya, kebenaran sering kali menjadi korban pertama dalam konflik seperti ini
Nangahale bukan hanya soal tanah, tetapi soal kepercayaan. Kepercayaan masyarakat terhadap hak leluhur mereka, kepercayaan Gereja terhadap legitimasi hukum, dan kepercayaan publik terhadap narasi yang mereka pilih untuk percayai.
Yang dibutuhkan saat ini bukanlah lebih banyak tudingan, tetapi lebih banyak percakapan. Bukan lebih banyak provokasi, tetapi lebih banyak upaya rekonsiliasi. Karena dalam pertarungan narasi ini, yang sebenarnya dipertaruhkan bukan hanya sekeping tanah, tetapi juga masa depan hubungan antara adat, agama, dan hukum di Indonesia.
Penulis adalah pemerhati sosial dan kebijakan publik
BERITA TERKAIT: