Partai Nasionalis Bangladesh (BNP) sebagai partai oposisi, bernasib sangat buruk di mana selama 12 tahun posisinya terpinggirkan yang hanya menguasai minoritas kursi parlemen dan menjadi oposisi terlemah sejak pemulihan demokrasi di Bangladesh pada 1991.
Sejumlah pengamat menyebutkan kemenangan mutlak Sheikh Hasina sebagai buah dari kebijakan ekonominya yang populis layaknya bantuan sosial atau
social safety net. Contohnya seperti program Ektee Bari Ektee Khamar project yang memberi bantuan dengan bentuk kredit pinjaman kepada masyarakat kalangan bawah terutama petani kecil di pedesaan, Ashrayan Project yaitu sebuah proyek pembangunan yang didanai oleh Pemerintah Bangladesh guna membangun rumah untuk para tunawisma dan orang-orang terlantar, dan Universal Pension Scheme, sistem pengaturan pensiun Pemerintah Bangladesh yang memberikan setiap warga negara Bangladesh yang berusia antara 18 sampai 50 tahun untuk mendapatkan dana pensiun secara sukarela.
Semua program populis ini termaktub dalam formula National Social Security Strategy (NSSS) yang juga disebut sebagai Sheikh Hasina Model yang terdiri dari 130 program bantuan sosial yang dilaksanakan melalui berbagai kementerian, baik dalam bentuk bantuan langsung tunai, maupun non-tunai. Program bantuan sosial atau social safety net ini mendapat porsi yang sangat besar dalam kebijakan fiskal rezim Sheikh Hasina yakni 17,83 persen dari total anggaran negara atau sekitar 3,11 persen dari total PDB Bangladesh.
Hasilnya, dalam 20 tahun masa kekuasaannya, ia dipuji karena mampu membalikkan perekonomian dan industri garmen besar-besaran, memimpin ledakan ekonomi yang luar biasa. Sebagian besar upayanya disokong oleh buruh pabrik perempuan yang menggerakkan industri ekspor garmen. Bangladesh, salah satu negara termiskin di dunia ketika memperoleh kemerdekaan dari Pakistan pada 1971, telah tumbuh rata-rata lebih dari 6 persen setiap tahunnya sejak 2009.
Angka kemiskinan pun turun drastis dan lebih dari 95 persen dari 170 juta penduduk negara itu kini memiliki akses terhadap listrik, dengan pendapatan per kapita melampaui India pada 2021.
Namun kemajuan ekonomi yang berhasil digapai oleh Sheikh Hasina berjalan tanpa proses yang demokratis, di mana pemimpin oposisi yang kritis terhadap kebijakan pemerintah dipenjara, masyarakat sipil yang melakukan protes dikriminalisasi, hingga media massa baik cetak maupun elektronik dikontrol untuk tidak menyuarakan kebenaran kepada publik.
CIVICUS Monitor, aliansi masyarakat sipil global yang berbasis di Johannesburg, menurunkan peringkat "ruang sipil” Bangladesh menjadi "tertutup" dalam laporannya. Ini adalah peringkat terburuk.
Puncaknya, pada pemilu yang telah memenangkan Hasina untuk periode kelimanya menurut International Crisis Group “berjalan tanpa integritas”. Di mana koalisi partai yang berkuasa dan lembaga penegak hukum, terutama polisi, membantu menciptakan lingkungan intimidasi dan ketakutan kepada rakyat pemilih. Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengecam pemilu yang dilaksanakan di Bangladesh sebagai pemilu yang tidak berlangsung bebas dan adil serta mengutuk kekerasan yang dialami oleh kelompok oposisi dan masyarakat sipil.
Kementerian Luar Negeri Inggris (UK Foreign Office) mengutuk tindakan intimidasi dan kekerasan yang terjadi selama pemilihan umum di Bangladesh, terutama tidak adanya aturan dan proses hukum yang menjamin persaingan yang kredibel, terbuka, dan adil serta menghormati hak asasi manusia. Parlemen Eropa (The European Parliament), dalam resolusinya pada 14 September 2024, juga menyatakan keprihatinan serius tentang situasi hak asasi manusia yang memburuk di Bangladesh. Akhirnya, pemilih yang berpartisipasi pada pemilu parlemen anjlok hanya sekitar 40 persen saja.
Dan ketika Hasina dilantik, ia langsung dihadapkan pada kebijakannya yang kontroversial tentang aturan kuota penerimaan pegawai negeri sipil (PNS), di mana lowongan PNS dibatasi kuota. Jatah istimewa diberikan ke anak pejabat dan kroninya. Praktik berpuluh tahun itu akhirnya memicu kemarahan generasi muda. Anak muda menggelar unjuk rasa berjilid-jilid meminta reformasi kuota PNS.
Reformasi ini merupakan tuntutan para mahasiswa. Mereka lulus dari universitas-universitas yang baik dengan nilai bagus. Sayangnya, mereka tidak bisa memperoleh pekerjaan. Puncaknya, kala pengunjuk rasa menyerbu rumah dinas PM Bangladesh, Hasina bersama keluarganya kabur ke Agartala, India hingga akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya.
Ada sejumlah variabel yang melatarbelakangi yang membuat situasi sosial-politik di Bangladesh terakumulasi hingga menjatuhkan rezim Hasina yang sudah berkuasa selama lebih dari 20 tahun.
Pertama, pada tahun 2023, 40% dari pemuda Bangladesh berusia 15-29 tahun tidak memiliki pekerjaan atau terjerumus dalam kondisi pengangguran. Mereka berpendidikan cukup namun tidak memiliki kesempatan untuk meraih kehidupan yang layak.
Kedua, sesuai laporan pemerintah Bangladesh, pada pertengahan 2023, lebih dari 37 juta orang menghadapi kesulitan ekonomi dan kerawanan pangan, dengan harga listrik dan gas naik tiga kali lipat dalam satu tahun.
Ditambah korupsi yang merajalela di antara pejabat tinggi yang memunculkan ketidaksetaraan yang suram dimana 10 persen orang terkaya dari populasi mengendalikan 41 persen dari pendapatan negara, sementara 10 persen terbawah hanya menerima 1,3 persen.
Dengan demikian, beberapa tahun terakhir sebelum kejatuhan rezim Hasina telah menyaksikan lonjakan orang Bangladesh yang mengadu nasib dan mencari penghidupan di Kanada. Ketiga, kecenderungan otoritarianisme pemerintah Hasina di tengah kesulitan ekonomi namun kebebasan dan hak asasi warga dirampas sehingga menciptakan ketidakpuasan.
Asal-Usul Sosial (social origins) #KaburAjaDulu dan #IndonesiaGelapBerdasarkan data lembaga pemantau media sosial Drone Emprit, tren percakapan #KaburAjaDulu terpantau mulai digaungkan di platform media sosial X sejak Januari 2025. Namun, Drone Emprit sempat melacak bahwa tagar ini mulai muncul pada setidaknya September 2023. Dari hasil pengamatan ini tampak bahwa 50,8 persen akun yang mencuitkan tagar ini adalah kelompok usia 19-29 tahun. Drone Emprit juga mengatakan tren tagar Kabur Aja Dulu di media sosial X menunjukkan pola yang organik dan bukan dari akun-akun bot.
Sebaran akun yang menggunakan tagar Kabur Aja Dulu juga beragam. Mayoritas di Indonesia, namun ada pula yang berada di Inggris, Korea Selatan, Singapura, Norwegia, Jerman, Jepang, Amerika Serikat, hingga Belanda. Begitu juga dengan tagar Indonesia Gelap menjadi trending topic di media sosial X sejak Senin, 17 Februari 2025. Bahkan, tagar tersebut menempati posisi pertama dengan jumlah postingan mencapai lebih dari 81.900 cuitan. Tagar tersebut semakin menggema seiring dengan aksi para mahasiswa yang digelar pada Senin, 17 Februari 2025.
Munculnya tagar Kabur Aja Dulu dan gerakan Indonesia Gelap bukan tanpa sebab. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di Indonesia mencapai hampir 7,2 juta orang pada Februari 2024. Menurut data ini jumlah pengangguran berkurang sekitar 790 ribu orang atau menyusut 9,89 persen dibanding Februari 2023 (year-on-year/yoy). Namun menurut data International Monetary Fund (IMF) dalam World Economic Outlook pada April 2024, tingkat pengangguran di Indonesia pada 2024 mencapai 5,2 persen, menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara.
Artinya walaupun angka pengangguran menurun, namun angkanya menjadi yang tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Bahkan pada Agustus 2024, jumlah pekerja informal di Indonesia mencapai 83,83 juta orang atau 57,95 persen dari total penduduk yang bekerja. Dari angka ini menunjukan bahwa separuh lebih dari penduduk Indonesia yang bekerja, mereka bekerja tanpa perlindungan hukum, tidak memiliki jaminan sosial hingga rentan menghadapi ketidakpastian ekonomi dan sosial. Contohnya mereka bekerja sebagai pengemudi ojek online, hingga buruh lepas atau freelance.
Hal ini terbukti, data hasil olahan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas terhadap Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS) bulan Februari tahun 2009, 2014, 2019, dan 2024 menunjukkan adanya tren penurunan penciptaan lapangan kerja di sektor formal. Selama periode 2009-2014, lapangan kerja yang tercipta di sektor formal menyerap sebanyak 15,6 juta orang. Jumlah ini menurun menjadi 8,5 juta orang pada periode 2014-2019, dan kembali merosot pada periode 2019-2024 menjadi 2 juta orang saja.
Ini menunjukkan bahwa peluang masuk pasar kerja formal di Indonesia kian sulit, termasuk oleh lulusan baru (fresh graduate). Fakta ini juga didukung oleh data BPS Februari 2024 menunjukkan, sebagian besar dari angkatan kerja lulusan baru (usia 15-24 tahun) yang terserap di sektor informal memiliki status pekerja tak dibayar atau pekerja keluarga (unpaid/contributing family worker). Secara rinci, kelompok yang paling banyak menjadi pekerja tak dibayar adalah anak muda usia 15-19 tahun atau baru lulus sekolah (79,79 persen), disusul anak muda usia 20-24 tahun atau baru lulus perguruan tinggi (50,5 persen).
Situasi semakin suram ketika tren de-industrialisasi merambah tanah air. Situasi ini bisa dilihat dari menurunnya kontribusi sektor manufaktur (industri pengolahan) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sepanjang 2024, industri pengolahan hanya menyumbang 18,98 persen terhadap total perekonomian Indonesia. Padahal, pada 2014, kontribusi industri pengolahan mencapai 21,08 persen. Kemudian, pada 2019, kontribusinya turun menjadi 19,7 persen dan pada 2022 turun menjadi 18,34 persen. Artinya kinerja industri pengolahan di Indonesia terus menerus melemah.
Hal ini dibuktikan oleh data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) di mana sebanyak 58 perusahaan tekstil kolaps dalam kuartal 2022 hingga 2024. Secara rinci, sebanyak 33 perusahaan tutup, sisanya melakukan efisiensi berupa pengurangan tenaga kerja atau pemutusan hubungan kerja (PHK), merumahkan tenaga kerja, serta relokasi.
Padahal, industri pengolahan masuk dalam 3 lapangan usaha yang menyerap tenaga kerja terbanyak. Maka wajar jika angka PHK terus meningkat. Data Kemnaker menyebut pada tahun 2024, tercatat 77.965 orang yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia. Jumlah ini meningkat 20,21 persen dibandingkan tahun 2023 yang hanya 64.855 orang. Akhirnya, mengutip laporan Bank Dunia dalam Indonesia Economic Prospects, prevalensi pekerjaan layak di Indonesia turun dari 14 persen menjadi 9 persen dari total lapangan kerja.
Di tengah situasi ekonomi yang suram dan lapangan kerja yang sulit, masyarakat disuguhkan dengan tontonan pengangkatan sebagian publik figur yang dikenal sebagai
crazy rich layaknya Raffi Ahmad dan Deddy Corbuzier sebagai pejabat publik. Sebelumnya, publik dipertontonkan salah satu anak pejabat publik menggunakan fasilitas jet pribadi, utusan Presiden yang mengolok-olok penjual es teh manis, kasus patwal mobil dinas pejabat yang memarahi warga, hingga kebijakan pengaturan LPG 3 kg yang membuat ketersediaan gas di masyarakat menjadi langka. Di lain sisi, data OJK menyebutkan pada September 2024, total pembiayaan pinjaman online (pinjol) di Indonesia mencapai Rp74,48 triliun.
Angka ini naik 33,73 persen secara tahunan (yoy). Jika diuraikan satu per satu masih banyak lagi kebijakan pemerintah hingga arogansi pejabat publik dipertontonkan di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang sulit justru memicu rasa frustrasi dan hilangnya harapan masyarakat kepada penyelenggara negara. Minimnya rasa empati dan
sense of crisis para pejabat publik justru menjadi trigger lahirnya perasaan tidak adil yang berujung pada kemarahan publik. Artinya tagar Kabur Aja Dulu dan Indonesia Gelap sebagai buah dari dialektika antara situasi objektif (kesulitan ekonomi dan arogansi kekuasaan) dan kondisi subjektif (rasa frustrasi dan
hopeless) yang dialami masyarakat.
Dan fenomena tagar #KaburAjaDulu dan gerakan Indonesia Gelap tidak bisa direspons dengan cara emosional, marah-marah atau nyinyir. Karena pada hakikatnya, menurut dialektika, “antagonisme” baik dalam realitas alam maupun realitas sosial adalah sesuatu yang niscaya dan kita semua tak dapat lari darinya.
Hal yang sangat penting untuk pemerintah saat ini yakni tidak memahami realitas sosial dalam paradigma “oposisi biner” (either-or) namun lebih memaknai realitas sosial terutama ruang publik dan demokrasi berlangsung dalam konstruksi makna yang terbuka, relasional, dan contingent.
Gagasan “koalisi permanen” yang dilontarkan pemerintah adalah cermin dari cara pikir yang menyederhanakan realitas sosial dalam kategorisasi yang permanen. Padahal, pada hakikatnya, politik adalah keterampilan untuk menata dan mengorganisasi kebersamaan manusia. Ia bukanlah hal ihwal yang terisolasi dan dalam kondisi statis terberi sejak semula. Oleh karenanya, hegemoni yang utuh dari satu kekuatan politik tertentu tidak akan pernah ada dan pasti akan runtuh karena melawan hukum dialektika sebagai keniscayaan.
Represi rezim politik dapat saja melemahkan ekspresi politik masyarakat, tetapi dengan karakteristiknya yang political, maka ekspresi publik tersebut tidak akan hilang sepenuhnya. Suatu saat hal itu dapat aktif kembali seiring hadirnya momentum politik. Untuk itu, apa yang mendesak dilakukan pemerintah layaknya apa yang disebut oleh Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe sebagai perjuangan bersusah-payah untuk merawat antagonisme agar mekanisme kritik, kontrol, dan rekonstruksi dapat terbangun sehingga demokrasi dapat terus meremajakan gagasan, manusia, maupun lembaganya.
Melihat kritik, protes dan keresahan publik sebagai konstitutivitas mekanisme yang rekonstruktif sehingga kita tak mengalami apa yang terjadi di Bangladesh yang terjerumus dalam sejarah panjang peristiwa yang tragis dan berdarah akibat menindas perbedaan dan dissensus dengan kekerasan.
Penulis ada Ketua Umum DPP GMNI
BERITA TERKAIT: