Di tangan Belanda, desain tanah Priangan tertata rapi, komprehensif, dan penuh pertimbangan. Namun, di tangan kita sendiri, yang diwarisi bukan hanya tanahnya, tetapi juga warisan kebingungan: sawah menjadi perumahan, gunung berubah jadi tambang, dan jalan-jalan penuh kemacetan seperti adonan martabak yang terlalu tebal.
Maka, ketika gubernur terpilih Dedi Mulyadi mulai berbicara tentang menata ulang tata ruang bahkan sebelum dilantik, publik dibuat terkejut. Seorang gubernur yang pertama kali bekerja bukan dengan bagi-bagi jabatan, tapi dengan bertanya: “Kenapa ini kacau begini?” adalah spesies yang hampir punah di dunia birokrasi kita.
Dedi Mulyadi —atau akrab disapa KDM— paham betul bahwa membangun bukan sekadar mendirikan tembok dan menuang semen, tetapi juga memastikan bahwa fondasi utamanya tetap selaras dengan alam. Kecintaannya pada lingkungan, budaya leluhur, dan prinsip keharmonisan tampaknya membuatnya memilih jalan sulit.
Ia membuka diskusi tata ruang secara transparan di kanal YouTubenya, tanpa malu-malu, disaksikan seluruh warga Jabar. Ini langkah langka, sebab biasanya pembahasan proyek besar lebih tertutup dibandingkan rapat keluarga yang sedang membahas warisan. Dan di sinilah KDM melakukan gebrakan besar.
Dia mengundang pejabat terkait dan bertanya dengan polos namun tajam: “Kenapa tebing curam boleh ditambang?” Jawaban yang didapat? “Karena aturannya memperbolehkan.” Sebuah jawaban yang terdengar seperti, “Karena hujan turun, maka kita basah.” Sebuah logika anak kecil yang suka bermain hujan-hujanan.
Namun, KDM tidak hanya berhenti pada debat administratif. Dengan penuh semangat, ia menginstruksikan agar Jawa Barat kembali merujuk pada tata ruang terbaik yang pernah dimiliki: desain tata ruang kolonial Belanda. Mereka membuat tata ruang di Jawa Barat sepanjang masa kolonial, berpuncak di akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.
Sungguh ironis, bukan? Kita yang sudah merdeka lebih dari 70 tahun, justru harus kembali ke desain lama yang dibuat oleh bangsa yang pernah menjajah kita dan mendatangkan puluhan ribu warga mereka. Tapi mari kita jujur: kalau sesuatu sudah dirancang dengan baik, mengapa harus kita buat ulang dengan lebih buruk?
Sebagai bentuk keseriusan, KDM bahkan rela membiayai perjalanan dinas pejabatnya ke Leiden, Belanda, untuk menggali dokumen asli tata ruang Jawa Barat dari arsip kolonial. Ini bukan sekadar nostalgia atau kekaguman berlebihan pada Belanda, tetapi langkah pragmatis untuk mencari solusi atas kesemrawutan tata ruang kita sendiri.
Setidaknya, kita bisa belajar dari mereka yang dulu begitu teliti mengatur kota, jalur irigasi, dan transportasi massal —sesuatu yang kita sepertinya selalu anggap remeh hingga semuanya macet dan banjir. Misalnya, kota Cimahi, mereka rancang sebagai garnisun militer, dengan penataan kota yang disesuaikan untuk keperluan militer.
Tapi, muncul pertanyaan, untuk apa Belanda melakukan semua itu? Jawabannya sederhana: rancangan tata ruang dan jalur transportasi warisan kolonialis Belanda yang bagus itu semata-mata dibuat untuk mendukung kelancaran usaha para kapitalis kolonialis mengeksploitasi sumberdaya alam Jawa Barat yng melimpah.
Dalam diskusi yang terus berkembang di rumah KDM, muncul satu solusi menarik: menghidupkan kembali jalur kereta api sebagai tulang punggung transportasi Jawa Barat. Dibandingkan jalan tol yang memakan banyak lahan dan seringkali hanya menyumbang kemacetan baru, kereta api adalah pilihan yang lebih ramah lingkungan.
Dengan semangat yang hampir seperti seorang anak kecil menemukan mainan lama di gudang, KDM pun berkata, “Ayo reaktivasi semua jalur kereta peninggalan Belanda!” Ia menyebut, pemerintah Provinsi Jabar masih memiliki anggaran Rp 4 triliun yang bisa digunakan untuk reaktivasi kereta api. "Dengan saya pasti tercapai!" katanya lagi.
Inilah salah satu keputusan yang paling masuk akal dan berani dalam sejarah perencanaan transportasi kita. Jika benar-benar terwujud, Jawa Barat bisa menjadi provinsi dengan sistem transportasi yang efisien tanpa harus mengorbankan sawah dan ruang hijau. Setidaknya ada lima jalur kereta api bisa dihidupkan kembali.
Apa yang dilakukan KDM merupakan bentuk ishlah lingkungan yang sejati -bukan hanya bicara tentang penghijauan atau kampanye cinta bumi. Ia bertindak nyata, memperbaiki ekosistem perkotaan dan desa secara menyeluruh. Tata ruang bukan sekadar urusan teknis birokrasi, tapi soal masa depan kehidupan manusia dan keseimbangan alam.
Maka, jika Tuhan memang menciptakan Jawa Barat dengan senyum, sudah saatnya kita berhenti merusak di muka bumi, seperti diingatkan Allah dalam al-Qur'an. Dengan visi seperti ini, KDM tampaknya bukan sekadar gubernur, tetapi juga seorang arsitek masa depan Jawa Barat yang lebih hijau, lebih rapi, dan semoga lebih berkelanjutan.
BERITA TERKAIT: