Pertanyaan ini mencuat di tengah dinamika politik Indonesia yang semakin meluas. Bukankah setiap negara memiliki persoalan masing-masing sehingga intervensi politik dari negara lain seharusnya tidak mudah terjadi?
Misalnya, Amerika dengan berbagai isu politik yang disampaikan Trump, lalu Rusia lewat pernyataan Putin, RRC, dan lain-lain. Jadi terlalu dini kritik publik terhadap Prabowo dinilai faktor utamanya akibat pengaruh geopolitik.
Sejumlah kebijakan strategis yang diusung Prabowo, seperti keputusan bergabung dengan BRICS, pembentukan Danantara dan Bank Emas, kewajiban penempatan 100 persen devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam di dalam negeri, efisiensi pengendalian utang luar negeri, serta hilirisasi komoditas, sejatinya merupakan langkah berani memperkuat kemandirian ekonomi Indonesia.
Namun, di tengah upaya tersebut, ada dugaan pola rekayasa yang memicu kesalahpahaman publik terhadap kebijakan pemerintah. Media sosial dan
platform open source kerap dimanfaatkan untuk membenturkan masyarakat dan mengobarkan kemarahan publik. Apakah benar demikian?
Kritik terhadap Prabowo, penulis menilai bukan hanya soal kesalahpahaman terhadap kebijakan pemerintah, melainkan juga kekecewaan publik terhadap ketidaksesuaian antara pidato-pidatonya yang berapi-api dengan realitas politik.
Prabowo yang selama ini dipandang sebagai pemimpin perubahan dengan komitmen menegakkan hukum, justru dinilai abai dalam menghadirkan keadilan. Figur-figur yang sebelumnya menjadi target hukum tetap berkeliaran di panggung politik nasional, bahkan diberi posisi strategis.
Sementara itu, pemotongan anggaran di sektor pendidikan yang seharusnya bisa dihindari semakin memperburuk kepercayaan publik. Padahal, dalam pidato-pidatonya, Prabowo menekankan pentingnya penegakan hukum guna mengembalikan anggaran negara yang bocor akibat korupsi untuk pembangunan nasional.
Efisiensi anggaran memang perlu, tetapi bukan dengan mengorbankan sektor pendidikan yang menjadi investasi jangka panjang bagi bangsa. Pemerintahan Prabowo semestinya lebih mengedepankan upaya penegakan hukum terhadap pelaku penyelewengan anggaran serta melakukan audit forensik independen di berbagai lembaga, khususnya BUMN yang jelas telah diberitakan berbagai media terpercaya banyak terjadi kebocoran dan korupsi.
Penulis menilai secara konseptual, terobosan yang digagas Prabowo sudah berada di jalur yang benar. Namun, eksekusi kebijakan yang belum spektakuler dan tidak segera dirasakan dampaknya oleh masyarakat menimbulkan kesan bahwa pemerintahan ini tidak cukup berani dalam merealisasikan janji-janji politiknya.
Mahasiswa, masyarakat, serta pemangku kebijakan di pusat dan daerah pun mengalami kebingungan dalam menerjemahkan pidato Prabowo ke dalam implementasi nyata. Bukan sekadar persoalan pemahaman atau penyesuaian, tetapi lebih pada pembuktian konkret yang tegas dan adil.
Kekecewaan ini memuncak dalam aksi demonstrasi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia yang bertajuk Indonesia Gelap. Gerakan ini menyoroti isu utama penegakan hukum dan efisiensi anggaran di sektor pendidikan.
Mahasiswa memahami bahwa efisiensi anggaran diperlukan untuk mengendalikan utang luar negeri, tetapi mereka juga menuntut keadilan, mengapa figur-figur yang menyebabkan utang luar negeri membengkak dan berbagai perilaku yang merugikan bangsa negara masih bebas berkeliaran di panggung politik tanpa pertanggungjawaban hukum?
Di sinilah esensi dari tuntutan mahasiswa, bukan sekadar efisiensi anggaran, tetapi pembuktian nyata dari prinsip
rule of law yang selama ini digaungkan Prabowo.
Persoalan utang luar negeri serta kebocoran anggaran akibat korupsi bukanlah isu baru. Selama puluhan tahun, gerakan sosial di Indonesia memperjuangkan transparansi dan akuntabilitas, tetapi tidak pernah ada gebrakan hukum yang spektakuler.
Ketika Prabowo menjadi Presiden ke-8, pidato-pidatonya memberi harapan baru bagi rakyat. Penulis bahkan menyebutnya sebagai Prabowo The Last Emperor, simbol harapan terakhir bagi rakyat dalam mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur.
Gerakan mahasiswa dan rakyat yang menggelar aksi demonstrasi bertajuk Indonesia Gelap menjadi bukti bahwa ini bukan sekadar salah paham atau rekayasa geopolitik, melainkan ekspresi nyata kekecewaan publik.
Rakyat menyadari bahwa tidak ada presiden di dunia yang memiliki tongkat Nabi Musa untuk mengubah keadaan dalam sekejap. Namun, selama penegakan hukum terhadap koruptor dan penyalahguna kekuasaan tidak segera direalisasikan, maka kepercayaan publik terhadap kepemimpinan Prabowo akan semakin tergerus.
Harapan rakyat belum sepenuhnya pudar, tetapi jika tidak ada tindakan nyata dalam waktu dekat, maka segala janji politik hanya akan menjadi omon-omon yang semakin menggerus legitimasi pemerintahan ini.
Penulis adalah mantan Kepala Aksi Advokasi PIJAR 90-an; aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo)
BERITA TERKAIT: