Ironisnya, di tengah kumandang azan lima kali sehari, pengajian di setiap sudut kompleks, dan kebijakan moral yang katanya mengayomi, banyak orang memilih jalan pintas ke kubur.
Dalam sepekan terakhir, berita bunuh diri datang dari berbagai penjuru negeri. Seorang siswi SMA di Kalimantan Selatan, setelah berbulan-bulan bergulat dengan kesehatan mental dan tekanan dari seniornya, akhirnya memilih tali nilon sebagai solusi permanen untuk masalah sementara.
Sementara itu, di sebuah mal di Jakarta Barat, seorang pria tanpa identitas di saku memutuskan terjun bebas dari ketinggian, seolah gravitasi sahabat terbaiknya. Tak ketinggalan, seorang wanita di Bogor yang baru saja bertengkar dengan suaminya langsung mengambil keputusan yang, sayangnya, tidak bisa dibatalkan.
Tren ini bukan sekadar kebetulan. Data menunjukkan bahwa angka bunuh diri di Indonesia terus naik, dari ratusan hingga ribuan kasus per tahun. Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri mencatat, sepanjang Januari hingga Oktober 2024, terjadi 1.023 kasus bunuh diri. Dan kalau kita tidak segera berbenah, angka ini bisa terus meroket.
Pertanyaan kita, mengapa bunuh diri semakin jadi pilihan? Apakah dunia sudah tak layak dihuni? Tidak juga.
Penyebabnya klasik: depresi yang diremehkan, impulsivitas tanpa kendali, tekanan sosial yang makin absurd, dan - tentu saja - stigma yang membuat orang lebih takut dibilang "gila" daripada benar-benar kehilangan akal sehat.
Konsumsi alkohol dan obat-obatan secara berlebihan juga sering berujung pada aksi bunuh diri. Kebiasaan ini dapat membuat seseorang mengalami psikosis, suatu kondisi yang membuatnya kesulitan membedakan imajinasi dan kenyataan. Jika tak teratasi, ini saja bisa menimbulkan bencana kesehatan mental nasional.
Keluarga yang seharusnya menjadi tempat berlindung justru kadang menjadi pemicu. "Jangan bikin malu keluarga," kata mereka, ketika seseorang ingin mengungkapkan perasaan. "Banyak berdoa, nanti hilang sendiri," ujar yang lain. Layanan kesehatan mental? Ya, kalau punya duit lebih dan bersedia antre lama.
Padahal, kalau kita benar-benar setia pada nilai-nilai agama dan sosial yang selalu kita banggakan, seharusnya kita menjadi bangsa yang paling bahagia di dunia. Bukankah iman dan kebersamaan adalah benteng terbaik melawan keputusasaan? Atau jangan-jangan, kita lebih sibuk menghakimi daripada benar-benar peduli?
Solusi sebenarnya ada, tapi butuh lebih dari sekadar doa dan ceramah moral. Kita butuh edukasi yang membongkar stigma, layanan kesehatan mental yang benar-benar bisa diakses, serta komunitas yang bukan sekadar kumpulan orang yang saling menilai, tapi juga saling mendukung, dijiwai nilai-nilai agama sebagai sumber kasih sayang.
Sampai saat itu tiba, kita mungkin masih akan melihat berita-berita bunuh diri berseliweran. Dan semoga, di antara deretan angka statistik yang diharapkan tak terus bertambah, kita bisa menemukan cara untuk menghentikan ajakan setani untuk bunuh diri - bukan dengan menutup mata, tapi dengan benar-benar peduli.
![rmol news logo article](https://dashboard.rmol.id/assets/images/logo/10441704062019_akhir.png)
Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al Quran
BERITA TERKAIT: