Penyebab Seseorang Tertarik Menjadi Teroris
Banyak individu yang merasa dikecewakan oleh sistem sosial, ekonomi, atau politik yang ada. Mereka merasa terpinggirkan dan tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi diri. Perasaan ini sering diperburuk oleh perundungan, diskriminasi, atau ketidakadilan yang dialami sejak usia dini.
Beberapa kelompok ekstremis memanfaatkan kelemahan emosional individu untuk menyebarkan doktrin radikal. Propaganda yang disampaikan sering kali menjanjikan pembebasan dari rasa sakit atau ketidakadilan, sekaligus memberikan identitas dan tujuan yang kuat bagi individu yang merasa kehilangan arah.
Lingkungan yang penuh dengan kekerasan, perpecahan, dan eksklusi sering kali menjadi lahan subur bagi radikalisasi. Individu yang tumbuh dalam komunitas yang mendukung kekerasan atau intoleransi lebih rentan terpapar ideologi ekstremis.
Perundungan di lingkungan keluarga, sekolah, atau komunitas dapat menciptakan rasa rendah diri yang mendalam. Individu yang mengalami perundungan sering kali mencari pengakuan dan kekuasaan melalui cara-cara yang ekstrem, termasuk bergabung dengan kelompok teroris.
Kelompok teroris sering kali menggunakan retorika "jika kamu tidak bersama kami, maka kamu musuh kami" untuk memisahkan individu dari komunitas yang lebih luas. Ini menciptakan loyalitas yang buta dan berbahaya terhadap kelompok tersebut.
Tidak semua individu yang menjadi teroris berasal dari latar belakang ekonomi yang kurang. Banyak orang yang secara ekonomi mapan juga dapat terjerat dalam doktrin teror karena alasan-alasan seperti pencarian makna hidup, pengaruh sosial, atau kebutuhan akan identitas yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa radikalisasi adalah proses yang kompleks dan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor material.
Tempat-tempat yang mempromosikan doktrin teror sering kali menampilkan hubungan yang penuh dengan penghargaan dan kasih sayang di antara anggota kelompoknya, selama tidak ada perlawanan terhadap tujuan ideologi tersebut. Namun, jika terjadi perlawanan, maka tekanan atau teror dapat langsung dilancarkan untuk mempertahankan kontrol.
Pola Penerapan Teror Non-Verbal yang Tidak Disadari
Teror non-verbal sering kali muncul dalam bentuk pengucilan seseorang dari komunitas atau kepercayaan yang menjadi pegangan hidupnya. Misalnya, seseorang dapat dikeluarkan secara halus atau terang-terangan dari kelompok sosial, agama, atau organisasi tertentu, menciptakan rasa takut dan isolasi.
Memberikan label negatif kepada seseorang berdasarkan keyakinan, pendapat, atau latar belakangnya dapat menjadi bentuk teror yang menekan mental dan emosional individu.
Tekanan untuk mematuhi aturan atau norma kelompok tertentu tanpa memberi ruang untuk dialog atau perbedaan pendapat juga termasuk pola teror non-verbal yang sering tidak disadari.
Meninggalkan individu dari keputusan atau kegiatan penting dalam komunitas mereka juga dapat menciptakan perasaan tidak diinginkan, yang sering menjadi pintu masuk radikalisasi.
Kelompok yang menyebarkan doktrin teror sering kali menunjukkan pola seperti senang melihat orang lain terkena musibah dan mengaitkannya dengan "azab". Pola ini digunakan untuk memperkuat narasi ideologi mereka dan menanamkan rasa takut atau rasa bersalah pada individu yang menjadi target.
Upaya Penanggulangan Terorisme
Untuk mengatasi terorisme secara efektif, kita perlu memahami akar penyebab ini dan mengambil langkah-langkah konkret untuk mencegah radikalisasi.
Program anti-perundungan harus menjadi prioritas di sekolah dan komunitas. Dengan menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung, individu tidak akan merasa terasing atau direndahkan.
Edukasi tentang nilai-nilai empati, toleransi, dan saling menghormati harus ditanamkan sejak dini. Masyarakat yang inklusif akan lebih sulit dimasuki oleh ideologi ekstremis.
Kemiskinan dan ketidaksetaraan sering menjadi faktor utama radikalisasi. Namun, kita juga harus mengakui bahwa individu dari berbagai status ekonomi dapat terpengaruh oleh ideologi ekstremis. Oleh karena itu, penguatan ekonomi keluarga, penciptaan lapangan kerja, dan akses terhadap pendidikan berkualitas tetap penting sebagai bagian dari strategi yang lebih luas.
Mengidentifikasi Tanda-tanda Radikalisasi Dini
Pemerintah dan komunitas harus bekerja sama untuk mengidentifikasi individu yang menunjukkan tanda-tanda radikalisasi, seperti perubahan perilaku, penyebaran ideologi ekstremis, atau ketertarikan terhadap kelompok tertentu.
Belajar dari keberhasilan negara lain dalam menangani terorisme dapat memberikan wawasan baru. Kerja sama internasional juga penting untuk melawan ancaman lintas batas.
Keluarga memiliki peran penting dalam mencegah radikalisasi. Dengan menciptakan hubungan yang sehat dan mendukung dalam keluarga, individu akan merasa diterima dan tidak mencari pengakuan di tempat lain.
Memahami alasan mengapa seseorang tertarik menjadi teroris adalah kunci untuk mencegah radikalisasi. Selain itu, mengenali pola-pola teror non-verbal yang sering tidak disadari, seperti pengucilan dan eksklusi, juga penting untuk menciptakan lingkungan sosial yang sehat dan inklusif.
Dengan mengatasi faktor-faktor seperti rasa terasing, perundungan, dan ketidakadilan sosial, serta menyadari bahwa radikalisasi tidak selalu berkaitan dengan kemiskinan, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih aman dan harmonis. Penanggulangan terorisme membutuhkan kerja sama semua pihak untuk membangun dunia yang inklusif, adil, dan penuh rasa hormat.
*Penulis adalah penggiat literasi dari Republikein StudieClub
BERITA TERKAIT: