Pasalnya, perusahaan-perusahaan tersebut telah mengeruk banyak keuntungan dan beroperasi di luar izin yang ditentukan.
Data Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menyebutkan, setidaknya 3,37 juta hektare lahan hutan telah berubah status menjadi lahan kebun dan tambang ilegal.
"Saya usul, 436 perusahaan sawit ini didenda sebesar mungkin karena sudah menikmati untung dari kegiatan perkebunan tanpa izin di dalam kawasan hutan ini," kata anggota Komisi IV DPR, Robert J. Kardinal, kepada wartawan, Kamis 13 Maret 2025.
Sebelumnya, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni telah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Nomor 36/2025 tentang Daftar Subjek Hukum Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit yang telah terbangun dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan yang berproses atau ditolak permohonannya di Kemenhut.
Surat keputusan menteri tersebut merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Dan ditandatangani langsung Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni pada 6 Februari 2025 lalu.
Atas dasar itu, Robert meminta Kemenhut tidak ragu menindak tegas setiap penyimpangan yang dilakukan para pelaku usaha sawit.
Terlebih akibat kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan yang mereka lakukan, ratusan ribu hektare lahan hutan mengalami rusak berat dan alih fungsi.
"Mereka ini merupakan pengusaha-pengusaha yang masuk dalam 100 orang kaya di Indonesia. Saatnya mereka membantu pemerintah dan ikut berpartisipasi membela kepentingan bangsa dan negara. Toh mereka sudah menikmati puluhan tahun," tegas politikus senior Partai Golkar ini.
Robert merasa prihatin dengan banyaknya pelaku usaha yang dilaporkan memiliki kebun sawit tanpa izin di dalam hutan tersebut. Apalagi perilaku menyimpang ini terjadi hampir di seluruh Indonesia. Baginya, ini menunjukkan rendahnya kesadaran pelaku usaha untuk berinvestasi sesuai dengan aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
“Kami Komisi IV mendukung pemerintah mengambil tindakan tegas. Bagi yang tidak mau bayar denda, lahannya dikembalikan negara. Apalagi ini sudah terang-terangan dan banyak dilakukan di luar area hak mereka," kata dia.
Selain itu, Robert juga meminta agar tambang-tambang yang beroperasi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil ditindak. Dia menyerukan agar izin usaha tambang tersebut dicabut karena jelas berpotensi mengancam ekosistem laut.
"Pertambangan di pulau-pulau kecil ini sudah sangat meresahkan apalagi setelah ada revisi Undang-undang Mineral dan Batubara," ujarnya.
Pertambangan di pulau-pulau kecil jelas sangat dilarang karena dapat merusak lingkungan dan merugikan masyarakat. Kegiatan ini juga bertentangan dengan upaya konservasi dan perlindungan lingkungan.
Dikatakan Robert, Pasal 23 Ayat 2 Undang-undang Nomor 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil jelas melarang penambangan pasir, minyak dan gas, serta mineral di pulau-pulau kecil.
Hal ini diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa penambangan di pulau-pulau kecil merupakan
Abnormally Dangerous Activity.
Politikus asal Papua Barat Daya ini menuturkan, cukup banyak pulau-pulau kecil yang berubah jadi lokasi tambang. Contohnya, Pulau Pakal, Pulau Bunyu, Pulau Gee, Pulau Wawonii, Pulau Sangihe, Pulau Gag, dan sebagian pulau di Raja Ampat.
Untuk itu, dia mewanti-wanti Kemenhut tidak menerbitkan izin penggunaan kawasan hutan (pinjam pakai kawasan hutan) untuk kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil.
“Ini banyak terjadi dari Aceh sampai Papua dan itu merata. Seperti di Papua oleh PT Gag Nikel, itu karena keterlanjuran dan itu ratusan hektare. Kami minta itu dicabut karena sudah tidak sesuai dengan aturan yang ada," tegasnya.
Menurut Robert, izin operasi tambang ini harus dihentikan agar kerusakan ekosistem laut tidak sampai meluas.
“Selain merusak ekosistem, juga mengganggu pariwisata. Seperti Raja Ampat yang merupakan ikon wisata dunia dan merupakan habitat laut terbaik dunia karena koral terbaik dunia, itu 75 persennya ada di Raja Ampat. Ini harus dipertahankan kelestariannya," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: