Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Prabowo-Gibran Butuh APBN Rp7.000 T untuk Capai Pertumbuhan 8 Persen

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/salamuddin-daeng-5'>SALAMUDDIN DAENG</a>
OLEH: SALAMUDDIN DAENG
  • Minggu, 03 November 2024, 22:27 WIB
Prabowo-Gibran Butuh APBN Rp7.000 T untuk Capai Pertumbuhan 8 Persen
Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka/Repro
SEBELUMNYA IMF menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan berada pada angka 5 persen dalam periode 2024-2029. Dalam artikel kami sebelumnya, telah dipaparkan bahwa rancangan Kabinet Merah Putih memang masih mengambil posisi aman, pertumbuhan 5 persen.

Sementara Prabowo-Gibran sendiri telah bertekad mencapai pertumbuhan dobel digit, atau setidaknya 8 persen dalam masa pemerintahannya. Namun angka itu akan sulit didapat jika kondisi ekonomi Indonesia, terutama masalah keuangan tidak terselesaikan.

Keuangan itu adalah masalah kunci yang tidak ada satu pihak pun kredibel membongkar masalah tersebut sampai saat ini. Apa itu? Yakni jumlah uang yang dimiliki negara memang sangat sedikit untuk dapat menggerakkan ekonomi.

Akibatnya, negara tidak memiliki kemampuan ekspansi sedikitpun untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi meskipun cuma tambahan satu persen saja.

Sementara untuk mencapai pertumbuhan 8 persen dari keadaan sekarang yang hanya tumbuh 5 persen, maka diperlukan tambahan kapasitas ekonomi dua kali lipat.

Kalau tidak bertambah 2 kali lipat, maka pertumbuhan 8 persen itu tidak bisa menjadi mimpi, bahkan menjadi khayalan siang bolong pun tidak bisa!

Apa saja yang harus ditambah? Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh konsumsi, maka harus ada tambahan uang yang dipegang oleh rata-rata masyarakat 2 kali lipat dari rata-rata yang dipegang sekarang.

Jika APBN adalah instrumen utama penggerak ekonomi, maka nilai APBN harus bertambah 2 kali lipat dari nilai yang ada sekarang.

Berapa Uang Negara?

Uang yang diterbitkan secara resmi oleh negara melalui otoritas penerbitan uang negara tergambar dalam jumlah uang kartal. Nilainya sangat kecil, jauh dari jumlah yang diperlukan bagi sirkulasi ekonomi secara kuat.

Menurut data terbaru yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengambil data dari Bank Indonesia (BI), jumlah uang kartal atau uang yang sebenarnya dicetak negara Republik Indonesia sebesar Rp954,4 triliun.

Jumlah sangat kecil dibandingkan ukuran kapasitas yang dimiliki bangsa Indonesia.

Mengapa dikatakan kecil? Jumlah penduduk Indonesia seluruhnya 270 juta jiwa. Jika uang yang dibuat negara dibagikan dengan jumlah penduduk Indonesia, maka setiap orang hanya memegang uang Rp3,5 juta per tahun atau hanya Rp9800 per hari.

Jumlah sebesar itu hanya setengah Dolar AS atau kurang dari 2 Dolar Purchasing Power Parity (PPP). Ini berarti jika diukur berdasarkan uang yang dipegang tersebut, maka seluruh rakyat Indonesia itu termasuk dalam kategori kemiskinan absolut.

APBN Harus Riil

Data Kementerian Keuangan menyebutkan total belanja negara tahun 2025 mencapai Rp3.621,3 triliun, termasuk Rp1.541,4 triliun belanja non-K/L pada belanja pemerintah pusat. Defisit APBN 2025 ditetapkan sebesar 2,53 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau Rp616,2 triliun.

Nilai APBN di atas bagi kebanyakan orang awam Indonesia mungkin kelihatannya sangat besar. Tapi benarkah ada uang APBN sebanyak itu? Benarkah uang itu nyata yang bisa diedarkan kepada masyarakat dan menjadi alat untuk belanja?

Tentu saja uang itu tidak ada sebesar yang dibayangkan. Itu hanyalah rencana belanja yang belum tentu ada uangnya.

Jadi dengan demikian, maka ada dua masalah di APBN Indonesia. Pertama, jumlah uang yang dirancang senilai Rp3.261,3 triliun itu tidak nyata atau tidak pernah bisa beredar ke masyarakat melalui belanja publik atau melalui belanja pemerintah.

Jadi itu cuma angka-angka atau rencana-rencana.

Kedua, jumlah yang direncanakan sebesar Rp3.261,3 triliun adalah rancangan pertumbuhan 5 persen. Artinya, rancangan itu sendiri tidak mencukupi jika mengkhayalkan pertumbuhan 8 persen.

Dari Mana Uangnya?

Ada rencana utang pemerintah ditambah sebesar Rp616,2 triliun. Tapi sekali lagi itu kecil dan sulit didapatkan dalam keadaan sekarang. Kecuali bunga surat utang negara dinaikkan lagi. Berarti akan semakin jauh lebih tinggi di atas bunga rata-rata perbankan.

Jadi bunga SUN berada di atas bunga bank. Maka makin kurus kering ekonomi karena disedot APBN. Seharusnya APBN menjadi instrumen penggerak ekonomi, malah menjadi mesin sedot vacuum cleaner. Jadi malah kontraproduktif.

Cara lain dengan menaikkan pajak juga akan kontraproduktif. Mengapa, karena pertumbuhan ekonomi 8 persen akan ditopang peningkatan konsumsi. Tidak masuk akal meningkatkan konsumsi dengan menaikkan pajak.

Masyarakat sudah berhadapan dengan bunga bank yang mencekik akibat SUN, lalu dipungutin pajak tinggi, sudah diburu, dipepet, dijepit pula. Kere.

Cara mendapatkan uang Rp7.000-8.000 triliun itu gampang-gampang susah. Pemerintah hanya perlu merenungi bagaimana keadaan ini bisa terjadi, lalu membuka pikiran lebih luas dari biasanya.

Lalu bayangkan setelah itu presiden Prabowo punya niat baik untuk membuat nol kemiskinan. Mengadakan 3 juta rumah dan membuat jutaan pekerjaan buat rakyat.

Jika semua itu dilandasi oleh untuk menjalankan amanat penderitaan rakyat, maka uang Rp7.000 sampai Rp8.000 triliun adalah amanah yang akan diterima Indonesia. Insyaallah. rmol news logo article

Penulis adalah Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI)
EDITOR: DIKI TRIANTO

< SEBELUMNYA

Impor Pakaian Bekas

BERIKUTNYA >

Paradoksnya Paradoks

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA