Argumentasi realokasi subsidi adalah BBM bersubsidi tidak tepat sasaran. Data yang digunakan oleh Deputi adalah 60 persen bensin bersubsidi dinikmati oleh masyarakat berpenghasilan tinggi.
Ketidaktepatan penyaluran BBM bersubsidi diidentifikasi sebesar 80 hingga 95 persen. Atas pemberitahuan rencana realokasi subsidi BBM Pertalite tersebut, kembali terjadi diskusi publik yang panjang.
Dewasa ini Kemenko Marves mengkoordinasikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan instansi lain yang dianggap perlu.
Singkat kata, kebijakan BBM bersubsidi berada dalam ranah Kementerian ESDM, yang berada dalam koordinasi dari Kemenko Marves. Akan tetapi persoalannya adalah apakah fungsi koordinasi itu berarti sebagai pengambil keputusan dan penetapan kebijakan berada dalam kewenangan Kemenko Marves, ataukah Kementerian ESDM.
Persoalan itu dikemukakan, karena ketika Kemenko Marves Luhut Binsar Panjaitan pernah memberikan informasi bahwa BBM bersubsidi rencana dilakukan pembatasan per 17 Agustus 2024, namun informasi tersebut tidak terealisasi di lapangan.
Di samping itu sekarang yang memberikan informasi pembatasan BBM bersubsidi bukan lagi level Kemenko Marves, melainkan pada level Deputi. Dalam praktik, kebijakan harga BBM ditetapkan menggunakan Permen ESDM, misalnya Permen ESDM 20/2021 tentang perhitungan harga jual eceran bahan bakar minyak.
Selanjutnya Menteri ESDM yang baru bernama Bahlil Lahadalia dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi VII DPR RI mengatakan bahwa asumsi dasar sektor ESDM untuk RAPBN 2025 berencana melakukan efisiensi penyaluran BBM bersubsidi.
Efisiensi tersebut dengan cara menurunkan alokasi BBM bersubsidi jenis solar dari 19,58 juta kiloliter tahun 2024 menjadi 19,41 juta kiloliter tahun 2025. Subsidi untuk solar tidak mengalami perubahan, yaitu sebesar Rp 1.000 per liter.
Di situlah letak ketidakcocokan informasi antara Deputi pada Kemenko Marves dibandingkan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Menteri Bahlil memberikan informasi tentang rencana mengurangi alokasi BBM jenis solar untuk RAPBN 2025, sedangkan Deputi Kemenko Marves membatasi alokasi BBM jenis Pertalite untuk rencana per 1 Oktober 2024, atau dalam bulan Oktober 2024.
Keduanya berbicara tentang penataan volume alokasi BBM, namun jenis BBM dan waktu rencana pelaksanaan pembatasan sama sekali berbeda. Juga keduanya berbicara tentang rencana.
Dalam Buku II Nota Keuangan APBN 2024 (UU APBN 2024) dituliskan tentang asumsi subsidi terbatas minyak solar sebesar Rp 1000 per liter. Alokasi subsidi jenis solar dalam bentuk volume sebesar 19,0 juta kiloliter dan minyak tanah sebesar 0,58 juta kiloliter tahun 2024.
Dalam Raker Menteri ESDM dengan Komisi VII DPR RI diketahui bahwa realisasi pemakaian BBM jenis solar hingga bulan Juli 2024 sebesar 9,99 juta kiloliter dan minyak tanah sebesar 0,29 juta kiloliter.
Persoalannya adalah sekalipun data dalam UU APBN 2024 sama dengan bahan paparan Menteri ESDM, namun kutipan ucapan Menteri ESDM mengenai alokasi volume BBM bersubsidi jenis solar tidak sama persis dengan data yang terdapat pada UU APBN 2024, sekalipun data pada bahan paparan tertulis Menteri ESDM sudah sama persis dengan UU APBN 2024.
UU APBN adalah kesepakatan antara pemerintah dengan DPR. Kalaupun pemerintah bermaksud memberlakukan diskresi kebijakan, maka secara ideal diperlukan kesepakatan formal tertulis dalam bentuk UU APBN Perubahan 2024. Hal itu, agar pemerintah tidak melanggar UU APBN 2024.
Jadi, urusan rencana pembatasan BBM Pertalite yang disampaikan oleh Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Marves perlu dijelaskan dalam Rencana Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR RI, karena UU APBN 2024 hanya menyatakan bahwa subsidi BBM jenis tertentu adalah solar dan minyak tanah, sedangkan BBM jenis Pertalite tidak disebutkan dalam UU APBN sebagai BBM bersubsidi secara tertulis.
Gagasan pengungkapan ketidakcocokan informasi tersebut di atas dalam artikel ini dimaksudkan untuk membangun tata kelola pemerintahan yang lebih baik, agar tidak terbangkitkan kegaduhan informasi pada masyarakat konsumen BBM jenis Pertalite.
Penulis adalah Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana
BERITA TERKAIT: