Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pelaut Niaga, Aset Negara Maritim

Oleh: Capt. Dwiyono Soeyono*

Selasa, 18 Juni 2024, 19:36 WIB
Pelaut Niaga, Aset Negara Maritim
Ilustrasi Foto/Net
USAHAKANLAH agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti kata cakrawati samudra. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri. (Bung Karno saat meresmikan Institut Angkatan Laut Tahun 1953)

Awal konsep didirikannya pendidikan tinggi pelayaran niaga pada tahun 1957 di era orde Ir.Soekarno adalah salah satunya sebagai langkah realisasi dari figur sang visioner akan cara pandang sedemikian penting dan prioritasnya potensi sumber daya manusia (SDM) maritim niaga, hingga dalam pidatonya menyebut kata “BANGSA PELAUT YANG MEMPUNYAI ARMADA NIAGA” diletakkan di depan sebagai prioritas.

Mengapa? Pelaut niaga adalah aset dunia berperan menghasilkan dan menumbuhkan ekonomi dunia, berkontribusi antara lain alokasi anggaran negara untuk membiayai kapal-kapal perang dan kapal-kapal negara. Bukan sebaliknya, dan itulah sebabnya kata ARMADA NIAGA diletakkan dalam garda depan esensi pidato.

Indonesia Poros Maritim Dunia sangat keren. Namun, apakah cita-cita Nawacita ini bukan hanya suatu mimpi bak burung pungguk merindukan bulan, dimana kondisi negeri maritim ini tanpa memiliki rumpun ilmu maritim (niaga?) untuk dijadikan dasar lahirnya para tenaga ahli yang linier sesuai bidang ilmunya?

Poros Maritim Dunia bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang besar, kuat, dan makmur melalui pengembalian identitas Indonesia sebagai bangsa maritim, pengamanan kepentingan dan keamanan maritim, memberdayakan potensi maritim untuk mewujudkan pemerataan ekonomi Indonesia. Namun, perlu dipertanyakan satu hal yang terlupakan dalam rencana program yang nampak dikemas keren demikian, apa strateginya dengan peran tenaga ahli maritim niaga sebagaimana cara fikir figur sang visioner akan sedemikian penting dan prioritasnya potensi sumber daya manusia maritim niaga, hingga seiring dengan pidato yang menyebut kata “BANGSA PELAUT YANG MEMPUNYAI ARMADA NIAGA” diletakkan di depan sebagai prioritas?

Kita simak bersama strategi dalam bernegara dengan latar belakang kompetensi keilmuan penempatan SDM yang terjadi sekarang. Mulai dari Kemenko Maritim dan Investasi (Marves), apakah ada tenaga ahli yang berlatar belakang kompetensi maritim niaga? Bagaimana dengan lembaga negara yang menangani transportasi laut? Apakah sudah tepat latar belakang kompetensi ASN yang menjabat? Bagaimana dengan strategi pembuat kebijakan pendidikan tinggi kepelautan niaga? Apakah pejabat-pejabat sebagai sutradara yang berperan membuat konsep pendidikan tinggi maritim niaga adalah memang manusia-manusia berkompeten sesuai bidang yang memahami pendidikan maritim niaga? Bagaimana strategi penempatan para SDM berkompeten sesuai latar belakang yang tepat di gerbang-gerbang ekonomi negara seperti Syahbandar? Sudah tepatkah?

Yang terjadi dari hasil pengamatan publik tenaga ahli maritim niaga dan juga suara dari industri terkait, bahwa pertanyaan-pertanyaan aspek kompetensi tepat guna maritim niaga yang demikian belum terjadi. Salah satu fakta yang terjadi akibatnya adalah kerugian reputasi negara dari sektor maritim secara internasional karena kecelakaan transportasi laut meningkat tiga kali lipat.

Jangan selalu mengkambinghitamkan kesalahan selalu pada aspek kompetensi pelaut sebagai kausal tunggal HUMAN ERROR, karena negara harus hadir untuk lakukan fair comprehensive and objective root cause analysis sampai dengan ke hulu dimana sumber kebijakan negara dirancang dan diputuskan oleh SDM (juga wujudnya HUMAN) dengan peran pemangku kebijakan yang tidak tepat guna sehingga terjadi dampak fakta meningkatnya kecelakaan dalam industri maritim niaga meningkat. Hasil investigasi Komite Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT) matra laut juga bila digali kajian sisi tenaga ahli, tidak bermutu, tidak independen dan tidak obyektif. Apakah maritim niaga di Indonesia baik-baik saja? Maritim niaga tidak baik-baik saja di negeri poros maritim yang masih dalam impian ini.

Apa sih definisi maritim? Jika negeri yang sedang bermimpi ini tidak mau kebablasan memaknai, tentunya kita harus berani mengakui dulu kata maritim itu dan apa batasan logisnya. Yang pasti, itu kata asing diadopsi dari bahasa impor yang mana bila dilacak antara lain muncul beberapa referensi:
Maritime comes from the Latin word maritimus, which means “of the sea,”. It’s very similar to nautical, except nautical refers to ships, and maritime covers ships and other ocean-related stuff. Use maritime to describe anything involving the sea and ships.
1. of, relating to, or bordering on the sea a maritime province
2. of or relating to navigation or commerce on the sea
3. having the characteristics of a mariner
(merriam webster)

Dari referensi di atas, dapat disimpulkan bahwa arti kata maritim (bahari) adalah segala sesuatu hal terkait dengan laut/samudera yang melibatkan laut dan kapal-kapal. “Segala sesuatu terkait dengan laut/samudera”, artinya apakah itu? Di atas laut, permukaan laut, dalam laut, dasar laut (seabed), bawah dasar laut, pantai sebagai titik temu antara laut dan daratan dan sarana-sarana terkait laut antara lain pelabuhan, kapal, anjungan-anjungan lepas pantai (platforms), pipa-pipa dan kabel-kabel bawah laut dan lain-lain. Sedemikian luas? Ya, memang itulah luasnya arti kata maritim. Jadi bila bicara perikanan dan biota-biota laut itu adalah hanya satu segmen dari luasnya arti kata maritim.

Dari pemahaman yang diuraikan, akhirnya dapat dibayangkan bagaimana luas dan variatifnya kegiatan-kegiatan maritim di dunia ini. Lalu bicara luasnya maritim sebagai alam dan sarana-sarananya, siapakah the competent personnel behind the gun sebagai mitra kegiatan alam maritim yang berhak menyandang tenaga ahli maritim? Bagaimana dengan ilmu aspek hukum-hukum maritim niaga? Adakan peraturan Internasional yang mengaturkan sedemikan luasnya maritim?

Dapatkah kegiatan-kegiatan maritim yang sedemikian luas dan variatif lepas dari ketergantungan sarana yang disebut kapal laut (Ships/vessels)? Tentunya akan kita semua menjawab secara aklamasi bahwa tidak bisa, karena bola dunia yang permukaannya dua-pertiga adalah air dan kapal adalah mutlak kebutuhan (it is a need), bukan keinginan (not a want).

Berkenaan dengan peraturan yang mengatur secara internasional, coba kita simak satu hirarki tertinggi konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB/ UNO = United Nation Organization) yang dikenal dengan United Nation Convention of the Law on the Sea (UNCLOS). Dalam UNCLOS terkait armada kapal-kapal, maka dibagi dalam 3 kategori, yaitu kapal perang (warships), kapal negara (government ships) dan kapal niaga (merchant/commercial ships).

Dari ketiga jenis rezim armada kapal itu, yang murni diperuntukan transportasi laut mengangkut berbagai jenis logistik komersial dunia adalah armada kapal-kapal niaga. Ada juga diaturkan dalam UNCLOS bahwa kapal-kapal negara bisa juga difungsikan untuk kapal komersial. Tidak dengan armada kapal-kapal perang (warships).

Ada pemberlakuan pasal perlakuan istimewa bagi kapal-kapal perang dan kapal pemerintah berbunyi: Kekebalan kapal perang dan kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial.

Dengan pengecualian sebagaimana tercantum dalam sub-bagian A dan dalam pasal 30 dan 31, tidak satupun ketentuan dalam Konvensi ini mengurangi kekebalan kapal perang dan kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial (Article 32 Immunities of warships and other government ships operated for non-commercial purposes).

With such exceptions as are contained in subsection A and in articles 30and 31, nothing in this Convention affects the immunities of warships and other government ships operated for non-commercial purposes)

Dapat diartikan bahwa kapal-kapal niaga sepenuhnya harus tunduk (tanpa hak imunitas) pada rezim konvensi Internasional, dan PBB menunjuk agen dunia maritim yang dikenal dengan Organisasi Maritim Internasional (IMO = International Maritime Organizaton) sebagai kepanjangan tangan acuan kegiatan-kegiatan kapal-kapal komersial dunia maritim internasional. IMO mengeluarkan beragam konvensi-konvensi maritim dunia yang hingga kini diringkas dengan 4 pilar utama IMO yaitu SOLAS, STCW, MARPOL dan MLC-2006 (Safety of Life at Sea, Marine Pollution Prevention, Standards of Training Certification and Watchkeeping for Seafarers, Maritime Labour Convention).

Keselamatan kerja semua sektor kegiatan adalah kunci dari peningkatan ekonomi. Itulah ilmu-ilmu yang harus dikuasai tenaga ahli maritim niaga dan tertuang dalam konvensi-konvensi IMO. Dapat diartikan bidang keahlian ilmu martim niaga adalah fokus pada TATA KELOLA KESELAMATAN INTERNASIONAL (INTERNATIONAL SAFETY MANAGEMENT). Ruang lingkup luasnya bidang ilmu yang harus dikuasai adalah antara lain keselamatan jiwa manusia, keselamatan kapal dan muatan, perlindungan dan pencegahan pencemaran di laut, hak-hak dan kewajiban pelaut dan pengusaha kapal, standar tata kelola keamanan maritim niaga.

Mengingat inti dan kunci dari luasnya kegiatan-kegiatan maritim niaga dimana tidak bisa lepas dari ketergantungan armada kapal-kapal niaga, maka mutu kompetensi tenaga ahli pelaku-pelaku kegiatan maritim niaga (merchant maritime) harus dibakukan oleh IMO. Dan pembakuan sertifikasi kompetensi individu tersebut dibakukan dalam STCW. Mengapa harus diseragamkan dan dibakukan? Ya, harus diseragamkan dan dibakukan agar tidak terjadi disputes di segala penjuru dunia akan kompetensi pelaut Internasional.

Apakah luasnya makna maritim perlu suatu ilmu hingga tingkat pemahaman pendidikan tenaga ahli yang sedemikian signifikan hingga IMO harus membakukan? Ya, Maritim niaga itu membutuhkan pembekalan ilmu hingga tingkat tenaga ahli dalam pendidikan dan pelatihan Pelaut, karena Pelaut itu pelaku utama distribusi logistik ke seluruh dunia. Dapat dibayangkan apa yang terjadi bila tidak ada STCW? Apakah peran kompetensi pendidikan dan pelatihan dari para pelaut (Seafarers) sedemikian signifikan dalam aramada kapal-kapal niaga dalam perputaran ekonomi dunia? Dengan pertanyaan-pertanyaan yang ada di atas, hal demikian hanya untuk memancing publik yang awam betapa besar peran kompetensi pelaut niaga dalam luasnya kegiatan maritim, dengan pernyataan: “competent and certified seafarers needed by the maritime world to gain world’s economy”.

Total waktu yang diperlukan hingga menyandang predikat tenaga ahli bersertifikat tingkat paling tinggi dalam bidang ilmu maritim niaga adalah sekitar 9 tahun (kombinasi akumulasi waktu teori dan praktik). Apakah tidak cukup waktu yang demikian panjang untuk menciptakan tenaga ahli kompeten bidang maritim niaga? Lalu siapakah tenaga ahli dalam negara poros maritim ini yang didaulat sebagai tenaga ahli maritim niaga yang dapat diajak bermitra membagun konsep sebuah negara poros maritim atas dasar bidang rumpun ilmu yang tepat sebagai basis akademik (intellectual basic)? Seorang pensiunan jenderal bintang empat ex matra darat? Insinyur sipil? Sarjana hukum pidana atau perdata?

SDM Pelaut niaga adalah aset (intellectual human capital) dunia maritim baik di laut maupun di darat, berperan menghasilkan dan menumbuhseimbangkan ekonomi maritim dunia, berkontribusi antara lain untuk mengakomodir alokasi anggaran tiap negara untuk membiayai pejabat-pejabat maritim dengan kapal-kapal perangnya, termasuk pejabat-pejabat transportasi laut dengan kapal-kapal negaranya. Bukan sebaliknya. Perlakukan aset SDM ini sebagai mitra, bukan sebagai komoditas.

Itulah cita-cita visioner sang proklamator yang selalu berpikir 50 tahun ke depan dengan mengonsep janin yang menjelma menjadi tunas-tunas Perwira Pelayaran Niaga melalui rahim SDM intelektual maritim niaga diawali dan dirintis sejak tahun 1957. Sayangnya sang pewaris pemangku kebijakan negara setelah beberapa periode hingga kini masih abai dan lalai menghargai aset, menggali potensi, meningkatkan dan mengembangkan serta mengakui keberadaan tenaga ahli ini untuk bersama membangun negeri bahari. Tenaga ahli ini masih belum pada posisi sesuai harapan judul artikel di atas, sesuai harapan harkat martabat the great sang proklamator. Entah berapa lama lagi harus menanti membuang-buang waktu, agar akhirnya negara sadar membuka mata akan luasnya arti kata MARITIM dan membuat loncatan-loncatan untuk mengejar ketertinggalan.

Tantangan poros bahari NKRI adalah menjadi kiblat percontohan inovasi dunia maritim dengan jati diri Nusantara, karena dijahit dan diukir dengan pola pikir kearifan anak bangsa sebagai kesinambungan peradaban: nenek moyangku seorang pelaut.

Negeri bahari kaya ini perlu RUMPUN ILMU MARITIM dikukuhkan dengan undang-undang, dilanjutkan mengakui status sosial tenaga ahli yang sesuai bidang rumpun ilmu hingga tingkat akademik paling wahid (Doktor). Mengapa demikian? Hal demikian penting agar negara saat menata SDM the competent personnel behind the gun tidak galau lagi dengan para petualang-petualang profesi yang bukan bidangnya, namun piawai jualan kecap nomor satu seolah mereka tenaga ahli maritim yang asli. Atas dasar UU dan ketersediaan SDM anak bangsa genetika maritim yang mumpuni dan tepat, finalnya adalah melahirkan UNIVERSITAS MARITIM NIAGA INDONESIA (UMNI) berindukkan PTN (bukan yang lain). Lengkap sudah strategi melahirkan negara poros bahari NKRI. (Tanpa harus impor otak asing lagi, karena anak bangsa pelaut mampu jadi tuan dalam air negeri bahari). rmol news logo article

*Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Korps Perwira Pelayaran Niaga Indonesia (IKPPNI)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA