Eventnya bakal diselenggarakan pada 27 November 2024. Ya, tahun ini juga. Praktis sekitar 6-7 bulan lagi sejak April 2024.
Kepala daerah yang masa kepemimpinannya berakhir pada tahun 2022, 2023, 2024, dan 2025 bakal dikonteskan. Pilkada serentak seperti ini adalah yang kelima kalinya, tapi yang melibatkan seluruh povinsi, kabupaten dan kota adalah baru pertama kalinya.
Ini event besar-besaran yang berskala nasional, tapi keramaiannya bakal di tiap kabupaten/kota plus provinsi. Kecuali provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang gubernurnya tidak dipilih. Juga walikota/bupati di Jakarta Pusat, Utara, Timur, Barat, Selatan dan Kepulauan Seribu, yang bakal ditunjuk gubernur terpilih nantinya. Bakalan seru.
Pada Pilkada serentak 27 November 2024 melibatkan 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Total 545 daerah di seluruh Indonesia.
Kasak-kusuk (istilah kerennya: lobbying) sekarang tengah berlangsung di antara para politikus (atau partai politik) dan berbagai kelompok kepentingan (vested interest groups).
Undangan ketemuan untuk “ngobrol-ngobrol” seputar kondisi atau permasalahan daerah dan siapa saja kandidat yang dianggap cocok untuk menjadi solusi tengah digodok di internal parpol atau pun ormas. Termasuk juga organisasi-organisasi relawan.
Mulai sekarang kita sudah disuguhi baliho dan iklan di berbagai platform media sosial maupun arus utama.
Beberapa hari lalu kebetulan saya sempat berkunjung ke Kalimantan, Bali, Banten dan Bandung. Di sana pun baliho-baliho “pemanasan” untuk “jual diri” sudah mulai bertebaran. Rasanya daerah lainnya pun tak ketinggalan, hampir pasti sudah banyak pula yang “curi start” berkampanye.
Nama-nama popular mulai digosok kembali, agar tetap mengilap dan punya “nilai jual” di mata para ketum parpol dan para “sponsor”.
Misalnya nama Kaesang Pangarep (PSI), Grace Natalie (PSI), Ahmad Sahroni (Nasdem), Ridwan Kamil (Golkar), Erwin Aksa (Golkar), Ahmad Zaki Iskandar (Golkar) dikabarkan bakal meramaikan bursa calon gubernur/wagub Jakarta.
Di Bandung ada nama Marshal (PSI) dan beberapa kandidat beken lainnya. Di Banjarmasin dan Manado ada tokoh-tokoh lama maupun baru, juga di daerah-daerah lainnya. Pokoknya bakalan gempita.
Pengusaha (kebanyakan UMKM) di bidang baliho dan atribut kampanye bakal panen raya lagi. Perekonomian yang digerakkan oleh aktivitas politik bergulir lagi.
Begitu pula aktivitas politik yang bersimbiosis dengan kekuatan ekonomi (atau oligarki) menelurkan janji-janji konsesi yang bakal dituai manakala “perebutan kekuasaan” dimenangkannya.
Bursa calon kepala daerah semakin ramai. Mantan kepala daerah seperti Ali Sadikin (zaman lampau) dan duet Jokowi-Ahok (contoh kontemporer) bisa dijadikan role-model kepemimpinan ideal.
Kepala daerah yang mendedikasikan jabatannya untuk membela kepentingan rakyat daerahnya. Pemimpin yang inovatif dan berani membongkar kejumudan di birokrasi.
Berani frontal menghadapi DPRD di daerahnya yang cuma mementingkan pokir-pokir dalam rancangan anggaran daerahnya masing-masing. Padahal semua tahu sama tahu itu hanyalah “proyek-proyek titipan” yang ujungnya bermotif penggarongan berjamaah. Konspirasi antara eksekutif dengan legislatif (plus parpolnya di belakang layar).
Kapan semua itu (konspirasi korupsi yang seolah dilegalkan) bakal berakhir? Kapan transparansi anggaran bisa terealisasi?
Usulan Jeffrie Geovani (Ketua Dewan Pembina PSI) tentang koalisi permanen dengan konsep Barisan Nasional menjadi imperatif. Sehingga Pilkada serentak 2024 ini bisa menjadikan kerja politik kita semakin efisien dan efektif. Bukan sekedar jadi semacam Pilkoplo yang bikin teler dan yang cuma bikin kepala kita geleng-geleng sambil fly.
Kita tidak mau Pilkada serentak 2024 hanya jadi ajang dagang sapi. Siapa bisa jorjoran membakar duit maka dia yang menang. Kita ingin mendapatkan profil kepemimpinan daerah yang seperti Ali Sadikin dan duet Jokowi-Ahok dulu.
Duet Prabowo-Gibran di Istana Negara akan sukses jika ditopang oleh para kepala daerah yang kompeten di seantero Nusantara. Mereka yang bisa bahu membahu dengan pemerintah pusat merealisasikan Asta Citanya Prabowo-Gibran sebagai kelanjutan dari Nawa Citanya Jokowi.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Perspektif (LKSP) Jakarta
BERITA TERKAIT: