Demokrasi adalah anak kandung peradaban yang menjadi buah simalakama juga buat kita. Apalagi demokrasi kita adalah bayi yang lahir prematur mengalami disabilitas. Jadilah bangsa ini larut juga dalam euforia berupa yang kebablasan, perihnya merapuhkan keindonesiarayaan kita.
Pileg, pilpres dan pilkada menjadi bom waktu, yang hasilnya terkadang terlalu syarat mudarat dibandingkan manfaatnya. Itulah Indonesia kita.
Suksesi kepemimpinan nasional yang dimanifestasikan lewat Pemilihan Presiden (Pilpres) selalu membelahkan masyarakat kita. Ikhtiar mendulang dukungan memicu riuh dan seringkali menjadi biang keretakan. Tragedi kecebong versus kampret menjadi analogi satir mengiris perih kebersamaan. Kali ini pilpres tak luput diwarnai fenomena serupa, meski tak separah Pilpres 2019.
Menyitir ungkapan Frans Magnis Suseno SJ, pemilu Bukan untuk memilih yang terbaik, tapi mencegah yang terburuk berkuasa. Memaknai ungkapan itu mencuat pertanyaan ikutan, yakni apakah berkorelasi dengan Pemilu 14 Februari mendatang. Riuh soal politik dinasti misalnya, bukankah itu sudah bukan persoalan baru. Karena partai-partai pada galibnya merupakan pengejawantahan dari praktik politik dinasti.
PDI Perjuangan misalnya kuat bertemali historis dengan Sukarno. Trah Sukarno menjadi semacam lebih memiliki legitimasi untuk berkiprah di partai moncong putih ini. Seperti yang kini aktif, dan menjadi ikon, atau juga lokomotif sebut ada Puan Maharani, Muhammad Prananda Prabowo, dan sang cucu, putri Puan Maharani, yakni Pinka Maharani atau nama lengkapnya Diah Pikatan Orissa Putri Hapsari.
Cicit Bung Karno adalah caleg dari PDI Perjuangan wilayah Wonogiri, persisnya Dapil IV meliputi Kabupaten Wonogiri, Karanganyar, dan Sragen.
Menurut Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Tengah, Bambang ‘Pacul’ Wuryanto putri Puan sengaja ditempatkan di situ agar mengikuti jejak kepahlawanan pendahulu bangsa. "Kenapa ke Wonogiri dulu? Karena Wonogiri wilayah perjuangan Raden Mas Said. Beliau berjuang di sini, mencapai perjalananannya dari sini (Wonogiri). Banyak peninggalannya di sini," ungkap Bambang Pacul.
Menurut dia, sejarah Raden Mas Said adalah sejarah Wonogiri. Maka sebagai caleg di Dapil Jateng IV, tempat yang kali pertama didatangi Pinka adalah Wonogiri. Baru selanjutnya Pinka menuju ke kabupaten selanjutnya (Karanganyar dan Sragen).
"Jadi datang ke Wonogiri pertama kali karena di sini ada historis (Raden Mas Said). Tapi tetap (di Dapil Jateng IV) ada tiga kabupaten. Nanti pasti ke Karanganyar dan Sragen," ujar dia.
Bambang Pacul tidak mempermasalahkan jika Pinka menjadi bacaleg dan harus satu dapil dengannya. Menurutnya di PDIP tidak pernah ada yang bersaing antar caleg. Para caleg saling bergtong-royong. Hal itu wujud cara menerjemahkan ide Bung Karno.
Aroma politik dinasti juga mengarahkan telunjuk pada partai-partai politik lain. Partai Nasdem terlahir dari rahim reformasi tak luput fenomena di atas. Prananda Paloh putra sang ketua umum diakui atau tidak mendapatkan atau setidaknya menikmati karpet merah. Begitu juga di Gerinda, Golkar dan PKB. Partai dinahkodai Muhamin Iskandar menemalikan kerabat kerabatnya, kalau tidak di internal partai, mereka mendapat
privilege duduk di jabatan jabatan prestise.
Fenomena di jajaran pengurus pusat terjadi di daerah. Beberapa kepala daerah, baik itu bupati atau wali kota ‘mengalihkan’ kekuasaannya dengan mewariskan pada anak atau istri. Tak terbilang jumlah bupati atau walikota berproses dengan turunan seperti itu. Artinya menyoal politik dinasti dengan menjadi Joko Widodo sebagai bidang tembak, seperti pepatah menepuk air didulang memercik ke muka sendiri.
Satu lagi layak untuk menjadi tambahan telaah di sini adalah ‘keroyokan’ dilakukan Partai Perindo. Sungguh kita dibuat geleng-geleng kepala. Tak tanggung tanggung keluarga konglomerat Hary Tanoesoedibjo atau HT kompak maju sebagai calon legislatif (caleg) dari Partai Perindo.
Ada sebanyak tujuh anggota dari keluarga pemilik MNC Group tersebut nyaleg, berdasarkan daftar calon sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dari Hary (57) sendiri hingga anak bungusnya, Warren (23) maju pada Pemilu 2024. Adapun, HT maju dari Dapil Banten III dengan nomor urut 1. Kemudian istrinya, Liliana Tanoesoedibjo maju dari Dapil DKI Jakarta II dengan nomor urut 1.
Putri sulung HT, Angela Tanoesoedibjo maju dari Dapil Jawa Timur I. Kemudian putri kedua, Valencia Tanoesoedibjo maju dari Dapil DKI Jakarta III. Putri ketiga Jessica Tanoesoedibjo turut maju dari Dapil NTT II. Kemudian putri keempat, Clarissa Tanoesoedibjo maju dari Dapil Jabar l. Si bungsu, Warren Tanoesoedibjo pun ikut maju dari Dapil Jawa Tengah l.
Kontroversi itulah barangkali pelan-pelan kritik soal politik dinasti, apalagi yang ditembakkan ke Joko Widodo menjadi kehilangan momentum. Ibarat jeruk makan jeruk, apa guna keluh kesah, kalau akhirnya membuat jadi bumerang sendiri.
Topan dalam Toples ala Denny JAAda adagium tentang karakter-karakter perlu kita pahami terkait filosofi menjadi jatidiri sebuah entitas. Ya, entitas, bukan etnisitas. Sering kita dengar dalam khasanah verbal, meski secara ilmiah belum pernah dikaji secara holistik. Tetapi fenomena yang lantas menjadi legacy adalah karakter ‘Wong Jawa’ itu mampu ‘manjing ajur ajer’. Ikhwal filosofi ini Joko Widodo sebagai sosok Jawa tulen rupanya menghayati betul.
Kita sejenak menengok bagaimana juragan kayu ini bermetamorfosa. Dengan segala kontroversi, tetapi harus diakui Joko Widodo adalah satu satunya Presiden Indonesia setelah Ir Sukarno dicatat dunia. Ketika Eropa meradang soal hilirisasi hasil tambang, sebaliknya dia kukuh menghadapi. Catatan-catatan lain seperti renegosiasi dengan Freeport, Blok Mahakam, dan diplomasinya menaklukkan Singapura atas otoritas wilayah udara kita adalah monumen.
Irisan Jokowi dengan Megawati menguar akhir-akhir ini setelah berapa lama dia memilih diam. Kontroversi tuan rumah U-20 menjadi awal titik balik. Puncaknya muntah ketika ‘kader’ binaannya, yakni Ganjar Pranowo tak lagi tunduk. Ganjar bagaikan anak harimau, ketika kecil dibesarkan, dan akhirnya memangsa tuannya. Dan, apakah analogi serupa juga layak disematkan pada Jokowi sendiri.
Kini ketika kurusetra menjadi panggung para ‘gladiator’ politik, sang pawang dengan was was juga dag dig dug menyaksikan jagoannya berlaga. Tiga patron yang menjadi tokoh simbolik dari pertarungan ini yakni Surya Paloh, Joko Widodo dan Megawati saling menunggu berharap tidak ada turbulensi membuyarkan strategi masing-masing. Siapa yang bakal jadi pemenang. Sayang kompetisi ini hanya memilih satu pemenang saja.
Gemuruh dan riuh makin mendidih, bahkan hari-hari ini ketika seluruh tahapan kampanye telah dituntaskan. Film
Dirty Vote misalnya, menjadi sebuah euforia di saat
injury time. Akankah
Dirty Vote tetap menjadi ‘Topan dalam Toples’ juga, atau membawa kebangkitan irasional, dan menyihir publik menjadi tercerahkan, atau sebaliknya menyulut kebakaran jenggot.
Kali ini saya manggut-manggut setuju dengan Rocky Gerung. Ingat kita perlu bening dan tidak mengambil langkah, apalagi mengambil keputusan di saat kemrungsung. Langkah dan keputusan di tengah situasi kemrungsung adalah menjadi tak rasional, tetapi emosional.
Jangan salah membuat spekulasi atas hiruk pikuk dan apa yang kita lihat dari fenomena fatamorgana politik ini.
Politik punya nalar dan logika sendiri. Saya tidak percaya Ahok bakal berkhianat pada Joko Widodo. Ahok adalah kartu atau juga bidak digerakkan pawang dari skenario besar ini. Logika saya tidak mungkin seteru dari alumni 212 rela untuk menerima Ahok. Ya, tetapi ini politik, untuk kebenarnnya biarlah waktu yang menjadi hakim.
Tren yang perlu menjadi tengara khusus memasuki saat injury timeini, elektabilitas Prabowo Gibran terkerek mendekati angka 50 %. Itu artinya hanya hanya butuh sekian % saja untuk mereka menang satu putaran saja (50%+1). Usai debat terakhir yang sesungguhnya menjadi amunisi Ganjar-Mahfud justru melahirkan puting beliung baru.
Ini yang ingin saya garisbawahi, gerakan-gerakan untuk mendistorsi Pemilu telah kehilangan momentum. Gerakan mobilisasi sipil, melalui narasi dibangun akademisi, di beberapa kampus adalah gerakan moral. Gerakan itu bagus andai kampus menjadi sebuah entitas yang bulat dari seluruh civitas akademika. Saat ini relasi mahasiswa dan dosen seperti cinta platoinik saja.
Ketika situasi baik-baik, mahasiwa kurang mendapat perhatian yang memadai. Apalagi seruang moril dari elite politik, akademisi, juga seniman, seperti Butet tidak memijak di bumi. Sementara instrumen lain, yakni
stakeholder-stakeholder kunci, seperti birokrat, TNI-Polri relatif telah terkonsolidasi pada simpul-simpul ‘sistem’ dan telah dikunci. Tangan tangan global, sebut kepentingan Amerika, dan serupanya telah tak kukuh lagi.
Jadi apa boleh buat, kecuali terjadi
missing link disorder, seperti
force majure, rasanya ‘satu putaran’ adalah sesuatu yang apa boleh dikata. Ya topan dalam toples, kata Denny JA, mari kita nantikan bersama hasil sesungguhnya.
Penulis adalah Pemimpin Umum dan Redaksi Kantor Berita RMOLJateng
BERITA TERKAIT: