Beberapa hari setelah pernyataan itu, Korut memprovokasi Korsel dengan menembakkan artileri ke pulau-pulau milik Korsel. Pemerintah Korsel segera memerintahkan warganya untuk mengungsi serta memperingatkan akan serangan balasan.
Tensi keamanan di Semenanjung Korea ibarat
roller coaster; kadang naik, kadang turun. Berulang kali pihak Korut dan Korsel berada di ambang peperangan. Namun, perang terbuka rupanya tidak pernah terjadi, setidaknya sejak Perang Korea tahun 1950-an. Hal ini menggiring opini bahwa ketegangan kedua Korea belakangan ini hanyalah rutinitas yang lambat-laun akan menurun dan lenyap dengan sendirinya. Artinya, ancaman Korut yang akan memusnahkan Korsel dan AS tak lebih dari gertak sambal belaka.
Diplomasi TantrumMeskipun ketegangan kedua Korea perlu menjadi perhatian dunia, namun sebenarnya hal itu tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Alasannya sederhana, ancaman dan provokasi Korut adalah strategi untuk menarik perhatian dunia. Dengan kata lain, sebagai salah satu negara paling terisolir di dunia, Korut memiliki pendekatan unik dan terkesan kekanak-kanakan agar mata dunia tertuju padanya.
Corak kebijakan luar negeri Korut ini mencerminkan narsisisme yang dalam perspektif psikologi politik berkaitan dengan perasaan bangga berlebihan terhadap diri sendiri. Hal ini pada gilirannya akan mempengaruhi cara suatu negara memandang isu keamanan.
Politik narsisme melihat hubungan internasional dalam terminologi ancaman alih-alih peluang. Rasa kecintaan pada diri yang berlebihan menciptakan kerapuhan secara emosional di mana segala sesuatu dari luar akan dipersepsi sebagai ancaman terhadap eksistensinya. Kajian-kajian psikologis menunjukkan hubungan erat antara harga diri yang tinggi dan kecenderungan perilaku agresif (Baumeister, Boden and Smart, 1996).
Korut mengadopsi ideologi ‘juche’ yang kalau diartikan secara bebas bermakna ‘berdikari’. Ideologi ini diciptakan kakek Kim Jong Un yaitu Kim Il Sung. Spirit utamanya adalah ‘kemandirian’ dan ‘percaya diri’. Meski dikucilkan dari pergaulan internasional, Korut seolah ingin menunjukkan bahwa ia bukan negara lemah yang tunduk pada tekanan internasional. Harga diri yang tinggi ini tercermin misalnya dalam pidato tahun baru Kim Jong Un tahun 2018 lalu bahwa walaupun keadaan negara sulit karena sanksi ekonomi, Korut harus tetap percaya diri dapat melalui semuanya.
Secara psikologis, kepercayaan diri yang timbul karena rasa bangga berlebihan ini sebetulnya untuk menutupi kerentanannya sendiri. Perekonomian Korut menjadi salah satu yang terburuk di dunia. Rendahnya pertumbuhan ekonomi dan tingginya tingkat kelaparan warganya membuat Korut terpuruk. Sebagian perekonomiannya ditopang oleh bantuan luar negeri.
Badan PBB yang mengurusi isu kemanusiaan OCHA mencatat pada 2021 bantuan asing ke Korut mencapai US$ 14 juta. Pada 2022 jumlahnya anjlok menjadi US$ 2.3 juta saja dengan donatur terbanyak dari UNICEF dan pemerintah Swiss dengan total sumbangan US$ 1.6 juta. Pada 2021, Uni Eropa mengalokasikan 500.000 Euro atau sekitar US$ 547.000 ke Korut.
Kerentanan ekonomi inilah yang mendorong Kim Jong Un mengubah haluan kebijakan luar negerinya menjadi lebih lunak pada 2018. Media-media internasional menyoroti momen saat Kim Jong Un menangis saat menyampaikan pidato tentang kondisi perekonomian Korut. Tak lama setelah itu, Kim Jong Un membuat sejarah dengan bertemu presiden AS Donald Trump di Singapura untuk menegosiasikan denuklirisasi dengan imbalan pencabutan sanksi ekonomi. Sayangnya, pada pertemuan kedua di Hanoi, Vietnam pada 2019 kedua pihak gagal mencapai kesepakatan.
Ubah PendekatanMenghadapi negara narsis yang mudah tantrum seperti Korut perlu pendekatan khusus. Komunitas internasional, terutama negara-negara Barat, selama ini menggunakan pendekatan ‘imbalan dan hukuman’
(reward and punishment) serta ‘tongkat dan wortel’
(stick and carrot). Sanksi ekonomi adalah bentuk dari pendekatan ini. Sekalipun tekanan ekonomi dalam beberapa hal mampu membuat Korut merasa tidak nyaman, namun secara keseluruhan metode ini tidak efektif.
Barat juga mengadopsi pendekatan ‘melabeli dan mempermalukan’
(naming and shaming). Contohnya, pada 2002 George Bush memasukkan Korut ke dalam kelompok negara-negara ‘poros setan’
(axis of evil) yang membahayakan keamanan internasional. Pada 2017 Donald Trump melabeli Korut sebagai ‘sponsor terorisme’. Tentu saja, politik labelling dan pengkambinghitaman
(scapegoating) semacam ini justru semakin memperkeruh suasana alih-alih membuat Korut melunak.
Perasaan terisolir dan terpojok justru akan membuat Korut bertindak nekat. Aksi-aksi provokatif seperti mengancam akan menyerang negara lain atau meluncurkan peluru kendali adalah gesture yang harus dibaca sebagai bentuk ketidakstabilan emosi pemimpin Korut. Sebagaimana menghadapi anak-anak yang rewel, komunitas internasional perlu mengubah taktik dengan merangkul alih-alih menyudutkan Korut.
Ada beberapa cara merangkul Korut. Pertama, AS harus berhenti melakukan provokasi di Semenanjung Korea. Salah satu faktor utama yang membuat Korut berang adalah seringnya AS menggelar latihan militer bersama sekutu-sekutunya, terutama Korsel, di dekat perbatasan Korut. Bagi AS, latihan tersebut ditujukan untuk meningkatkan kesiapsiagaan tempur apabila situasi memburuk. Namun hal itu justru kontraproduktif. Pendekatan keamanan yang dipakai AS semacam itu menunjukkan kegagalan AS memahami karakter kebijakan luar negeri Korut.
Kedua, dunia internasional harus mengajak Korut berpartisipasi dalam banyak
event internasional yang bersifat mendekatkan ketimbang menyudutkan. Hal ini bukannya tanpa preseden. Penyelenggaraan olimpiade musim dingin tahun 2018 antar kedua Korea bisa menjadi sarana diplomasi olahraga
(sport diplomacy) yang mengusung semangat reunifikasi. Selain itu, diplomasi publik seperti konser bintang K-pop Red Velvet di Pyongyang tahun 2018 lalu bisa membuka peluang dialog antar kedua Korea. Pendekatan merangkul seperti ini perlu diperluas ruang lingkupnya pada skala global.
Oleh sebab itu, dukungan semua pihak, terutama negara-negara yang selama ini memusuhi Korut, sangat diperlukan. Mengubah persepsi negatif terhadap Korut memang sulit dilakukan, tetapi bukan tidak mungkin. Politik internasional sarat bukti di mana dua negara yang tadinya bermusuhan bisa menjadi sahabat dekat. Berhenti memusuhi dan menyudutkan Korut barangkali bisa menjadi langkah awal mengubah permusuhan menjadi pertemanan.
*Penulis adalah dosen Hubungan Internasional di Universitas Pertamina
BERITA TERKAIT: