Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Yang Tak Diungkap Prabowo Tadi Malam, Big Push untuk Pertahanan!

OLEH: HANIEF ADRIAN*

Senin, 08 Januari 2024, 14:00 WIB
Yang Tak Diungkap Prabowo Tadi Malam, <i>Big Push</i> untuk Pertahanan<i>!</i>
Calon Presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto saat Debat Pilpres 2024, 7 Januari 2024/RMOL
DEBAT ketiga tentang isu pertahanan, keamanan, luar negeri dan geopolitik tadi malam (7/1/2024) secara teatrikal memang berjalan sangat panas. Capres Prabowo Subianto yang merupakan Menteri Pertahanan periode 2019-2024 diserang secara keras oleh Capres Anies Baswedan dan Capres Ganjar Pranowo.

Anies menyerang personal Prabowo yang dituduh membeli alutsista bekas dan gagal merealisasikan food estate, sementara Ganjar lebih substantif dalam menyerang kebijakan Prabowo yang menghentikan kerja sama Indonesia dengan Korea Selatan dalam pengadaan teknologi pertahanan.

Prabowo tentu saja tidak memiliki waktu cukup untuk melakukan counter terhadap serangan-serangan tersebut, karena memang demikian format debat capres-cawapres KPU yang tidak memberi kebebasan kepada tiap kandidat untuk memberi tanggapan lebih dari 1-2 menit. Waktu sesingkat itu tidak mungkin cukup untuk mengungkap dengan rinci apa yang sudah dilakukan Prabowo selama lebih dari empat tahun menjabat Menteri Pertahanan.

Soal pengadaan alutsista misalnya, Prabowo tidak memiliki cukup waktu untuk mengungkap kebijakannya sebagai Menhan membangun holding BUMN industri pertahanan bernama Defend ID (Defense Industry Indonesia) yang merupakan gabungan dari lima BUMN industri strategis yaitu PT LEN Industri, PT Dirgantara Indonesia, PT Pindad, PT PAL dan PT Dahana Indonesia. Defend ID dipimpin Bobby Rasyidin lulusan Teknik Telekomunikasi ITB tahun 1996, yang juga Dirut PT LEN Industri.

Yang sulit diungkap Prabowo karena memerlukan waktu lama, Defend ID berupaya mengonsolidasikan BUMN pertahanan yang sebelumnya menurut Dirut Bobby Rasyidin, saling sikut dalam lelang pengadaan alutsista.

Bobby menjelaskan contoh bagaimana PT PAL yang merupakan produsen kapal perang bersaing dengan PT LEN yang dapat menghasilkan otaknya kapal perang, yaitu combat management system (CMS). Alhasil, kapal produk PT PAL tidak memiliki CMS produk PT LEN.

Padahal persaingan antar BUMN pertahanan ini melemahkan kapasitas industri pertahanan kita untuk bebas dari impor. Namun, dengan didirikannya holding BUMN Defend ID, Industri Pertahanan kita memiliki master plan mencapai kemandirian dan bebas impor dalam 15 tahun. Dengan master plan serinci itu, tentu hanya dorongan besar atau big push yang kita perlukan untuk mencapai kemandirian teknologi pertahanan.

Kemandirian Teknologi Pertahanan

Kedaulatan suatu bangsa tentu saja tidak mungkin dicapai hanya dengan kekuatan bangsa untuk bertahan dari ancaman dari dalam dan luar negeri, tetapi dicapai dengan sejauh mana bangsa tersebut mampu memproduksi barang kebutuhannya sendiri. Dan kapasitas industri tentu saja menjadi kunci karena hanya dengan kemampuan memproduksi barang kebutuhan dalam jumlah massal sajalah bangsa tersebut dinilai berdaulat.

Demikian juga dengan kedaulatan negara di sektor keamanan, hanya bisa dicapai dengan kapasitas bangsa tersebut untuk memproduksi alat utama sistem senjata secara mandiri untuk kepentingan keamanan nasional. Atas dasar pemikiran itulah, Republik Indonesia yang kekuatan militernya sejak awal bergantung pada produk impor entah bekas militer Belanda dan KNIL, dari blok barat atau blok timur pada era perang dingin, berupaya membangun dan mengembangkan kapasitas industri pertahanan.

Sosok yang berperan penting dalam memikirkan dan mewujudkan cita-cita tersebut adalah Presiden Soekarno yang pada masa kepemimpinannya membangun embrio industri strategis, dari sektor hulu dengan membangun pabrik baja Krakatau Steel untuk menghasilkan bahan baku industri, pabrik Boma Bisma Indra dan Barata untuk produsen alat berat serta pembangunan pabrik.

Sektor hilir industri pertahanan dikuasai perusahaan-perusahaan yang didirikan TNI seperti PT Perindustrian Angkatan Darat (Pindad), Penataran Angkatan Laut (PAL), Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio (Lipnur) yang pada masa Orde Baru menjadi PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), serta pabrik bahan peledak PT Dahana Indonesia milik Angkatan Udara.

Pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto, Menteri Negara Riset dan Teknologi Prof BJ Habibie menyatukan perusahaan-perusahaan tersebut di bawah kendali Badan Pengendali Industri Strategis (BPIS) sejak tahun 1989 yang dikepalai langsung oleh Habibie.

BUMN tersebut adalah Krakatau Steel, Boma Bisma Indra, Barata Indonesia, Pindad, IPTN, PAL, Dahana Indonesia, Industri Kereta Api (INKA), Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI) dan Lembaga Elektronika Nasional (LEN) Industri yang awalnya merupakan unit riset di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Kedudukan Habibie sebagai Kepala BPIS adalah ex-officio karena ia menjabat Menteri Negara Riset dan Teknologi/Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). BPPT yang merupakan pengembangan dari Divisi Advanced Technology PT Pertamina, menjadi otak dan sumber pembiayaan industri-industri strategis. BPPT menjadi institusi riset untuk menghasilkan inovasi teknologi tinggi agar dapat dijadikan produk industri strategis.

Namun, penandatanganan letter of intent IMF 1 dan 2 tentu saja mengakhiri peran dominan BPPT dalam pengembangan teknologi khususnya dalam sektor pertahanan dan keamanan. Lembaga BPIS dibubarkan, dan tiap BUMN strategis diharuskan berkompetisi dengan mekanisme pasar untuk menjual produknya ke dalam negeri maupun ekspor.

Dengan modal dan produk sangat mahal, juga disandingkan dengan industri pertahanan global, tentu saja BUMN strategis ini belum memiliki kapasitas yang memadai untuk bersaing.

Prabowo dan Industri Pertahanan

Sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto diberikan tugas oleh Presiden Joko Widodo untuk memperbaiki ekosistem industri pertahanan yang mengalami dinamika pasca dihentikannya kerja sama Indonesia dan Korea Selatan dalam pengadaan pesawat tempur generasi kelima KFX/IFX saat Menteri Pertahanan dijabat Ryamizard Ryacudu (2014-2019).

Kepemimpinan Ryamizard memang tidak berfokus pada penataan industri pertahanan, karena ia lebih berfokus pada pelatihan 100 juta kader bela negara. Pengadaan alutsista lebih mengandalkan pembelian, dan itu pun menjadi persoalan di kemudian hari seperti pembelian satelit pertahanan dan helikopter AW-101 untuk TNI-AU yang menjadi konflik antara Kementerian Pertahanan dengan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo saat itu.

Pekerjaan Prabowo untuk membereskan masalah industri pertahanan pengadaan alutsista tentunya sangat kompleks. Sebagai Menteri yang berwenang menyusun kebijakan umum di bidang pertahanan, Prabowo harus menyinergikan berbagai instansi kementerian dan lembaga yang terkait dengan isu ketahanan nasional, seperti pembangunan kawasan pangan (food estate) yang melibatkan Kementerian Pertanian, Kementerian LHK, Kementerian Desa dan PDTT, Kementerian PUPR dan Kementerian Pertahanan.

Ketiadaan lembaga seperti BPPT yang diintegrasikan menjadi BRIN, diganti dengan mengoptimalkan fungsi Universitas Pertahanan sebagai institusi riset dasar pertahanan. Prabowo meresmikan pendirian empat fakultas baru bidang STEM (Science, Technology, Engineering and Mathematics) di Unhan, yaitu Fakultas Kedokteran Militer, Fakultas Farmasi Militer, Fakultas MIPA Militer, dan Fakultas Teknik Militer.

Mahasiswa baru Unhan dididik untuk mempelajari sains sampai pada tingkat penguasaan artificial intelligence atau kecerdasan buatan.

Adapun keputusan Prabowo membeli pesawat tempur Mirage 2000 dari Qatar yang dibatalkan, serta rencana-rencana sebelumnya untuk pembelian pesawat tempur F-15 dari Amerika atau Rafale dari Perancis, adalah upaya Menhan Prabowo mendapatkan alih teknologi yang tentunya tidak mungkin terwujud jika tidak bersekutu dengan negara-negara Barat.

Beberapa pengamat militer memang menginginkan Indonesia lebih mendekatkan diri dengan blok politik Rusia dan China dalam alih teknologi pertahanan, karena mereka cenderung tidak mengintervensi atas nama demokrasi.

Upaya diplomasi pertahanan Prabowo dengan mendekati negara-negara demokrasi liberal tersebut seharusnya dilihat sebagai komitmen Prabowo terhadap demokrasi dan hak asasi manusia (HAM), jika dibandingkan dengan Rusia dan China yang pelaksanaan demokrasi serta HAM jauh lebih buruk.

Sikap tegas Prabowo mendorong peningkatan postur pertahanan di Laut China Selatan untuk mengimbangi tekanan China, menjadi bukti pemerintahan Prabowo-Gibran bukanlah sekutu partai komunis China. Tetapi, sikap Prabowo membela Palestina dengan mengirim bantuan medis ke Gaza juga bukti bahwa Prabowo menjalankan kebijakan luar negeri bebas aktif untuk mengkritisi pemihakan Amerika dan negara-negara Barat terhadap Israel dalam perangnya melawan Hamas.

Penutup

Beberapa hal yang tidak diungkap Prabowo dalam debat capres semalam, memang hanya bisa menjadi diskursus terbatas dalam Komisi I DPR RI yang membidangi pertahanan, luar negeri, dan komunikasi. Forum akademis yang membahas isu geopolitik juga memiliki aturan chatham house, di mana isu yang dibahas tidak dapat keluar dari forum. Security clearance menjadi syarat utama pembahasan isu pertahanan, karena memang banyak rahasia detail yang tidak dapat diungkap ke publik.

Pembahasan isu pertahanan memerlukan forum dengan security clearance, karena posisi Indonesia yang bersifat bebas aktif sehingga rentan diintervensi kekuatan asing. Pertahanan tidak hanya menyangkut situasi geopolitik, geoekonomi, dan geostrategis, tetapi juga terkait dengan kapasitas industri pertahanan untuk menghasilkan alutsista secara mandiri.

Jika posisi yang diambil tidak cermat, tentu tidak ada satu pun blok politik di dunia ini membiarkan Indonesia berdaulat dan tidak bergantung dalam produk alutsista pertahanan. rmol news logo article

*Penulis adalah alumni ITB dan Sekjen Relawan Muda Prabowo-Gibran
EDITOR: DIKI TRIANTO

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA