Tidak ada yang lebih penting dalam penyelenggaran negara, sepenting wewenang.
Itu disebabkan wewenang, sewaktu-waktu dapat berubah menjadi alat yang menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya di satu sisi, dan menindas orang atau kelompok lain. Apalagi bila sang pejabat sembarangan dalam menggunakan wewenang implisit.
Hukum
Wewenang,
authority atau
bevoegdheid merupakan titik temu esensial hukum tata negara dan administrasi negara ini. Dalam semua aspek konseptual kedua bidang hukum ini, wewenang tersaji sebagai esensi ketua bidang hukum ini.
Wewenang tidak bisa dimaknai lain, apapun pertimbangan dan argumentasinya, selain dan hanya itu yakni esensi hukum tata negara dan administrasi negara.
Sebagai esensi hukum tata negara dan administrasi negara, sedari awal wewenang pasti dipertalikan, dalam sifatnya sebagai sesuatu yang imperative atau mutlak, dengan dua hal; jabatan dan tindakan jabatan. Kedua hal itu tersaji dalam seluruh spektrum hukum tata negara dan administrasi negara sebagai dua hal yang imperative dipertalikan dengan wewenang.
Apa nalarnya atau hukum? Nalarnya dan hukumnya, tidak semua pejabat, pemangku jabatan, dapat dan atau harus melakukan tindakan-tindakan hukum dalam lingkungan jabatannya. Pada titik ini, siapapun dipaksa untuk mengenal sumber wewenang.
Sejak akhir abad ke-17, khususnya di Inggris memunculkan peradaban hukum baru. Peradaban baru ini ditandai dengan beberapa hal hebat. Salah satu mencampakan konsep hukum klasik yang menjadikan, menerima atau menunjuk kedudukan dan status seseorang sebagai sumber wewenang.
Peradaban yang tercipta setelah Glorious Revolution 1688, diawali dengan pembentukan, dua di antaranya adalah
Bill of Rights dan Petition of Right 1689. Hukum, untuk pertama kalinya disepakati dan diberi sifat politik sebagai hal yang menyandang status "supreme", awal terbentuknya supremasi hukum.
Dalam peradaban baru ini menempatkan hukum, disisi intinya, sebagai dan menjadi satu-satunya menjadi sumber wewenang, menggantikan raja yang dalam peradaban lama sebagai sumber wewenang. Hukum, dalam tampilan esensialnya, bersifat mengarahkan, memandu, mengendalikan, dan sejenisnya.
Mengarahkan sama esensinya dengan memberi batas. Memandu juga sama dengan memberi dan menentukan batas.
Wewenang, dengan demikian, suka atau tidak, memiliki batas; waktu dan wilayah. Pada titik inilah letak rasionalitas konsep melampaui wewenang, menyalahgunakan wewenang, dan atau bertindak tanpa wewenang. Agar jangkauan wewenang atau batas wewenang memiliki sifat obyektif, maka detail wewenang harus disebut satu demi satu. Hukum tata negara menyebutnya konsep
enumeration authority.
Eksplisit dan Implisit
Wewenang yang disebut satu demi satu, yang disebut sebagai
enumeration authority, sedetil apapun, selalu memiliki potensi ketidakpastian. Sebab ketidakpastian ini, sebagian merupakan akibat bawaan dari hukum itu sendiri. Norma hukum, tidak pernah lain selain konsep. Konsep hukum, selalu begitu, dinyatakan dengan kata-kata. Dalam keadaan konkrit, konsep-konsep hukum itu, sangat sering dianggap tidak jelas, atau tidak dapat digunakan menentukan hukum atas satu peristiwa konkrit.
Apa yang harus dilakukan oleh pejabat yang menghadapi keadaan sejenis itu? Diam saja, atau harus menemukan cara lain untuk menyatakan bahwa dirinya memiliki wewenang melakukan tindakan menyelesaikan atau menentukan hukum atas satu peristiwa konkrit? Terlalu sering pejabat menggunakan kebijakan sebagai dasar tindakannya. Tidak salah, tetapi harus diketahui sistem hukum kita memberi syarat dan parameter untuk tindakan-tindakan diskresional.
Selalu begitu konsekuensinya, tindakan hukum yang tidak cukup syaratnya, mengakibatkan tindakan itu, bisa batal demi hukum, atau batal atau tidak sah, sehingga harus dibatalkan. Kebatalannya memang harus dimintakan, baik kepada pejabat itu sendiri atau atasannya atau pengadilan. Tetapi terlepas dari itu, dunia hukum tata negara dan administrasi negara kita sejauh ini, hamper tidak pernah mendiskusikan konsep
implied authority.
Implied authority, secara konseptual merupakan kebalikan dari
enumeration authority. Untuk pertama kalinya konsep ini muncul dalam debat berkelas antara Alexander Hamilton (Menteri Keuangan) pertama Presiden George Washington dengan Thomas Jefferson dan James Madison dalam pembentukan
American First National Bank tahun 1791.
Konsep ini,
implied authority dimunculkan oleh Alexander Hamilton. Dalam intinya,
implied authority merupakan wewenang yang bersandar pada
enumeration authority. Tetapi disebabkan kewenangan ini bersifat umum, tidak mencakup peristiwa konkrit yang sedang ditangani, tetapi tetap diperlukan, sekaligus agar kewenangan yang bersifat umum itu memiliki efek terapan atau konkrit, maka presiden dianggap memiliki kewenangan melakukan tindakan membentuk
American First National Bank itu.
Dalam perkembangannya, harus diakui, muncul konsep lain, yani
legislative delegation of authority. Bukan wewenang implied yang dibicarakan sebagai sandaran dalam kerangka tindakan presiden menerbitkan, misalnya
executive order (EO), atau keputusan presiden, tetapi
legislative delegation authority. Esensi konsep ini adalah presiden bertindak berdasarkan delegasi kewenangan dari organ pembentuk UUD, congress, dalam hal ini
House of Representative atau Senat.
Menariknya tindakan presiden, tidak selalu bersumber atau bersandar pada konsep
delegation of authority. Presiden sangat sering bertindak secara mandiri, berdasarkan implied authority. Presiden Theodore Rosevelt, Woodrow Wilson dan Franklin D. Roosevelt, menerbitkan begitu banyak executive agency yang tidak didasarkan pada
delegation of authority.
Dalam kasus Indonesia,
implied authority dalam kenyataannya telah dilakukan, malah secara sangat demonstratif pada periode transisi dari Bung Karno ke Pak Harto. MPR, kewenangannya dijelaskan secara umum enumerated dalam UUD 1945, menerbitkan misalnya Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pimpinan Besar Revolusi/Mandataris MPR RI, Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 Tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara Dari Presiden Soekarno.
Pasal 4 Ketetapan XXXIII//MPRS/1967 di atas, beresensi mencabut kekuasaan pemerintah dari Bung Karno, dan mengangkat Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden berdasarkan pasal 8 UUD 1945 hingga dipilihnya Presiden oleh MPR hasil pemilu. Terlepas dari ekspektasi politik, tindakan MPR pada periode ini membuktikan penggunaan kewenangan yang tidak disebut secara spesifik dalam UUD dalam penyelenggaraan kekuasaan, setidaknya pemerintahan negara.
Soal hukumnya adalah berdasarkan kewenangan MPR yang mana dalam UUD 1945 atau bagaimana MPRS memperoleh kewenangan mengangkat Pak Harto menjadi pejabat presiden? Tidak ada. Tetapi lembaga apakah yang memegang kedaulatan rakyat, dan lembaga apakah yang berwenang mengangkat dan memberhentikan presiden? Hanya MPR.
Catatan Akhir
Bagaimana hukumnya bila seorang pejabat mengambil kebijakan yang diberi bentuk hukum, misalnya Inpres atau Keppres. Keppres, dalam tata hukum Indonesia, bisa diuji, bisa juga tidak, tergantung sifat materialnya. Kalau Keppres itu tidak bersifat mengatur, melainkan hanya menetapkan satu keadaan yang dianggap telah ada? Bisakah diuji? Bagaimana bila diuji ke Mahkamah Agung? Apa sikap MA? Tolak atau terima.
Mahkamah memang tidak memiliki kewenangan menilai kepres yang bersifat sekali berlaku, dan selesai atau tidak memiliki materi mengatur. Hemat saya Mahkamah harus menerima, bila Mahkamah memiliki dapat memastikan keppres itu menimbulkan keadaan hukum baru.
Keadaan hukum yang timbul dari Keppres atau Inpres, harus disamakan secara hukum kepres atau inpres yang menimbulkan keadaan hukum, dengan akibat hukum baru. Dalam konteks ini, beralasan mahkamah memiliki kewenangan implied memutus perkara itu.
BERITA TERKAIT: