Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Nasib Buruh di Tahun Politik

OLEH: ARIS BUDIONO

Jumat, 29 September 2023, 00:58 WIB
Nasib Buruh di Tahun Politik
Aris Budiono/ist
SEBENTAR lagi pesta demokrasi akan segera digelar. Para calon dari beberapa partai sibuk untuk mencari pendukung dan mencari simpatik ke masyarakat agar dipilih dalam pemilu nanti. Tim sukses dikerahkan untuk merancang strategi agar meraih kemenangan.  

Pertanyaannya, siapapun yang terpilih dalam pesta demokrasi baik legislatif maupun pilpres, apakah ada perubahan buat kaum buruh? Jawabannya sudah tentu tidak.

Beberapa kali ganti presiden nasib buruh tidak menjadi lebih baik, tetapi makin jauh dari kemakmuran. Bahkan kaum buruh dijadikan tumbal krisis.

Pada 2020 sepanjang masa-masa berat pandemi Covid-19 industri-industri berskala besar dan padat karya yang mempekerjakan banyak karyawan mengurangi pekerjaan dan menerapkan kebijakan efisensi yang ketat.

Banyak buruh yang diputus hubungan kerjanya tanpa pesangon, dan banyak  buruh yang dirumahkan tanpa diupah. Baru-baru ini salah satu perusahaan sepatu di Kabupaten Madiun dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga dan yang paling memprihatinkan adalah upah buruh selama 4 bulan belum dibayar.

Buruh tetap menjadi korban atau tumbal dalam krisis kapital sebuah perusahaan bahkan krisis kapital global.

Dalam menanggulangi krisis global pemerintah telah menerbitkan UU Cipta Kerja, di mana dalam Undang-undang tersebut banyak pasal yang mengurangi hak-hak pekerja. Misalnya dalam hal pesangon, lagi dan lagi buruh dijadikan tumbal krisis.

Pemerintah daerah berlomba lomba untuk menarik investor dengan mempromosikan upah murah agar investor mau menanamkan modalnya di daerah kekuasaannya tetapi ketika ada permasalahan kaum buruh dengan upah tidak dibayar mereka tidak bisa berbuat apa-apa.

Padahal saat pesta demokrasi atau pemilu suara kaum buruh sangat dirindukan. Kaum buruh hanya sebagai komoditas politik kaum borjuis, di mana partai partai sekarang dikuasai oleh kaum borjuis atau pemodal besar.

Kita lihat saja apakah pemimpin partai ada dari kalangan kaum marginal atau buruh? Sudah tentu tidak ada. Sedangkan adanya Partai Buruh yang sekarang ini hanya sebuah legitimasi saja. Bagaimana tidak, Partai Buruh yang seharusnya mengakomodasi kepentingan kaum buruh malah bersekutu dengan rezim yang membuat Undang-undang Cipta Kerja atau omnibus law.

Pesta demokrasi yang akan digelar adalah demokrasi liberal yang melahirkan oligarki dan teknokrasi. Bagaimana mungkin tuntutan rakyat banyak bisa terwakili dan digantikan segelintir orang yang menilai politik sebagai karier untuk menambang keuntungan pribadi?

Sedangkan prinsip-prinsip demokrasi seperti keterbukaan, kebebasan, dan kompetisi juga telah dibajak oleh kekuatan modal. Yang disebut keterbukaan, hanya keterbukaan untuk berusaha bagi pemilik modal besar. Kebebasan artinya kebebasan untuk berinvestasi bagi perusahaan multinasional. Pun dengan kompetisi yang dimaknai sebagai persaingan pasar bebas yang penuh tipu daya. Dan media yang mereduksi partisipasi rakyat.

Kelihaian media mengemas opini public membuat moralitas politik menjadi abu-abu, juga cenderung menggantikan partisipasi rakyat. Ini berujung pada semakin kecil dan terpinggirkannya partisipasi langsung dan kedaulatan langsung rakyat.

Selama parlemen dikuasai oleh kaum borjuis atau pemodal atau para kapitalis maka mustahil kepentingan kaum buruh akan terakomodir. Saat ini kita hidup dalam masyarakat kapitalis di mana dalam masyarakat kapitalis ada dua kelas masyarakat yang saling berseberangan atau saling kontradiksi yaitu kelas pemodal/borjuis dan kelas buruh.

Kontradiksi kedua kelas tersebut bersifat antagonis, jadi sangat mustahil kaum buruh menitipkan nasibnya kepada kaum borjuis atau pemodal yang menguasai parlemen atau partai. Kaum borjuis ingin berkuasa dengan tujuan mengamankan modalnya dengan cara menerbitkan regulasi yang ujungnya kaum buruh akan menjadi korban dari kebijakannya.

Menurut hemat saya, kaum buruh pada tahun politik harus lebih pandai dan cerdik. Kaum buruh harus membuat partai sendiri yang mengakomodir kepentingan kaum buruh.

Memang membuat partai tidak semudah membalikan telapak tangan. Tapi bisa dilakukan dengan cara yang kecil dulu yaitu membentuk serikat pekerja/buruh di tempat kerja atau dalam perusahaan. Tugas dari serikat tersebut adalah mengorganisir dan membangun sebuah jaringan untuk menjadi federasi atau konfederasi.

Dengan terbentuknya konfederasi yang mempunyai cabang-cabang di tiap tiap daerah maka mendirikan sebuah partai akan lebih mudah.

Dalam serikat pekerja harus ditanamkan visi dan misi yang jelas atau ideologi dari partai yang akan didirikan. Dengan partai buruh yang mandiri iuran bersumber dari anggota partai bukan dari sponsor atau kaum pemodal maka kepentingan kaum buruh akan terakomodir dan akan membawa kemakmuran bagi kaum buruh.

Kaum buruh tidak lagi menjadi komoditas politik tiap 5 tahun sekali, tetapi kaum buruh harus menjadi pemain politik untuk mengubah nasib buruh menjadi lebih baik.

Karena selama ini siapapun pemenang kontestan pemilu, nasib buruh tidak mengalami perubahan yang lebih baik, upah tetap murah, sistem kerja tetap kontrak dan outsourcing. rmol news logo article

Penulis adalah Ketua Serikat Buruh Madiun Raya
EDITOR: AGUS DWI

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA