Namun nikel yang dikeruk ternyata tidak menyisakan manfaat berarti. Sayang sekali!
Tahun 2019 terakhir, nikel di masa pemerintahan Jokowi diekspor dalam bentuk bahan mentah, yang dijual ke luar negeri dengan harga 30 dolar AS per ton, harganya sepertiga harga pasir bangunan di depok.
Padahal jika tumpukan nikel dijadikan tanah urukan saja, masih lebih mahal dibandingkan dengan diekspor.
Tahun 2019 berdasarkan data Bank Indonesia (BI), nilai ekspor nikel Indonesia mencapai 1.09 miliar dolar AS. Sekitar Rp15 triliunan.
Jumlah yang diekspor sebanyak 32.4 juta ton nikel. Berarti harganya lebih murah dari pasir bangunan atau kira-kira sama harganya dengan tanah urugan bangunan.
Ekspor ini berlangsung selama 5 tahun Pemerintahan Jokowi. Walaupun sudah ada UU minerba yang mewajibkan pengolahan di dalam negeri.
Proyek smelterisasi sebagai mandat UU Minerba konon diharapkan dapat menaikkan harga nikel hingga 22 ribu dolar AS per ton, 1.000 kali harga jual sebelumnya. Tapi ternyata itu hanya angan-angan.
Hasil smelterisasi tidak tampak, apakah dalam bentuk ekspor hasil olahan nikel, hingga ekspor hasil industrialisasi nikel. Atau apalah.
Malah yang terjadi sebalikya. IMF mengatakan nikel diekspor ke luar negeri secara ilegal. KPK menyambut dengan data bahwa lebih dari 5 juta ton nikel diekspor secara ilegal ke China. Datanya diperoleh sendiri dari bea cukai Tiongkok.
Jika 1.000 ton dapat diangkut dengan 1 kapal, maka 5 juta ton berarti ada 5.000 kapal angkut nikel ilegal. Ini kapal siapa?
Kok bisa? Ini adat dari dulu, ketika UU Minerba dijalankan agar terjadi industrialisasi di dalam negeri. Lalu pemerintah memberlakukan larangan ekspor dan atau juga pembatasan ekspor.
Namun apa yang terjadi sebagian perusahaan boleh ekspor dan sebagian besar yang lain tidak boleh ekspor. Lalu siapa yang boleh ekspor ini? Jangan-jangan dia-dia lagi.
Data KPK benar, mungkin lebih besar dari itu ekspor ilegalnya. Mengapa? Data statistik Bank Indonesia menunjukkan tahun 2020-2021 dan sampai sekarang nilai ekspor nikel Indonesia 0 (Nol). Tidak seupil pun hasil ekspor nikel.
Lalu nikel diekspor dalam bentuk olahan. Benarkah? Bentuk apa? BI tidak mencatatnya dalam statistik BI, mungkin mereka BI benar-benar tidak tahu, atau mereka menutup mata saja.
Atau jangan-jangan sudah diekspor dalam bentuk baterai, mobil, dan motor listrik sebagaimana yang dikhayalkan. Tentu kalau iya, maka Indonesia telah memimpin dunia dalam isu transisi energi.
Di dalam khayalan, kita akan melihat mobil dan motor listrik menggantikan mobil yang mengeluarkan polusi di Jakarta. Tukang tukang gerobak keliling menggunakan baterai dari kompor induksi untuk memasak nasi goreng, mie kuah, siomay, dan lain-lain. Tidak ada lagi polusi LPG.
Pemerintah berhemat impor BBM dan subsidi LPG Rp120 triliunan. Udara Jakarta segar bugar, bernapas lega, berpikir normal, karena otak manusianya dapat nutrisi.
Jakarta menjadi kota ternyaman di dunia, tempat tinggal orang-orang yang banyak berpikir dan juga bekerja. Mantap kan men?
Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
BERITA TERKAIT: