Ini hukum sejarah yang tidak bisa dilawan. Kekuasaan selalu akan bergilir dari satu kelompok ke kelompok yang lain.
Hari ini PDIP dan kadernya berkuasa. Partainya menjadi pemenang dan kadernya berhasil menjadi penguasa untuk sepuluh tahun ini. Indikator berbagai survei, PDIP juga akan menang lagi dalam pileg.
Selama berkuasa, ada kebijakan yang seringkali kontroversial. Terutama berkaitan dengan terbitnya UU. Mulai dari UU KPK, Cipta Kerja, hingga UU Minerba. Keterlibatan rakyat tidak diberi ruang yang memadai, sehingga lahirnya UU banyak kesan dipaksakan.
Terakhir Judicial Review (JR) terkait tambahan masa jabatan buat pimpinan KPK dari 4 tahun menjadi 5 tahun semakin menegaskan kesewenangan-wenangan
policy melalui instrumen hukum. Dan santer kabar bahwa Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) berkaitan dengan sistem pemilu: proporsional terbuka digugat untuk menjadi proporsional tertutup. Sebentar lagi akan diputuskan oleh MK.
Prof Denny Indrayana, salah satu tokoh yang mengaku dapat informasi valid dari internal MK. Bahwa MK akan mengabulkan gugatan dan memutuskan proporsional tertutup. Enam hakim setuju, tiga hakim menolak, kata Denny. Artinya, jika info ini benar, maka sistem pemilu kita akan menjadi proporsional tertutup.
Dalam sistem proporsional tertutup, rakyat milih partai, bukan caleg.
Sebagaimana kita tahu bahwa delapan partai di luar PDIP menolaknya. Hanya PDIP yang menginginkan proporsional tertutup. Secara aspiratif, mayoritas rakyat juga menolaknya.
Delapan partai dalam konteks ini merepresentasikan apa yang menjadi kemauan rakyat mayoritas. Jika keputusan proporsional tertutup dipaksakan, maka ini akan menambah bukti bahwa MK bukan kerja untuk rakyat. Lalu untuk siapa? Semua sudah pasti tahu jawabannya.
Jika proporsional terbuka adalah satu dari sekian hasil Reformasi 25 tahun lalu. Jika diubah, ini artinya kita membuka ruang otoritarianisme untuk lahir kembali. Sistem proporsional tertutup memberi kesempatan kepada partai untuk sabotase suara rakyat. Rakyat tidak bisa lagi memilih caleg. Rakyat hanya memilih gambar partai.
Partai bisa memasang seorang teroris, komunis, dan ekstrimis lainnya untuk menjadi calon DPR/DPRD. Taruh di urutan pertama atau kedua, mereka akan jadi anggota DPR/DPRD. Tidak peduli mereka dapat suara dan dukungan rakyat atau tidak. Ini bahaya. Bahkan sangat berbahaya.
Jangan semau-maunya ketika berkuasa. Tahan diri dan jalankan amanah sesuai kehendak rakyat. Lepaskan semua institusi hukum dari berbagai bentuk intervensi. Merdekakan mereka untuk mengawal keadilan.
Saat ini, dukungan kepada penguasa kelihatan cukup besar, meski dengan dinamikanya yang terkesan tidak alami. Suatu waktu nanti akan pasti terkoreksi secara sosial maupun politik.
Bahkan mungkin akan terkoreksi pula secara hukum. Koreksi itu akan sangat vulgar ketika kekuasaan telah berakhir periodenya.
Saat koreksi itu terjadi di tengah kekecewaan dan tekanan berat rakyat, maka ini akan bisa menjadi bumerang terhadap lingkaran kekuasaan itu sendiri. Antipati kepada kekuasaan, termasuk partai pengusungnya bisa membesar.
Para elite mesti belajar dari jatuhnya Orde Lama dan Orde Baru. Kekecewaan rakyat akibat tekanan yang cukup lama pada akhirnya menjadikan Orde Lama sebagai
common enemy, lalu disusul Orde Baru setelah 32 tahun berkuasa.
"
Ngono yo ngono, ning ojo ngono." Begitu petuah orang tua di Jawa. Jangan keterlaluan. Bahwa kekuasaan itu amanah, diberikan oleh rakyat dan sudah semestinya diabdikan untuk melayani rakyat.
Di sinilah perlunya seorang pemimpin dan elite peka terhadap apa yang menjadi kemauan rakyat. "
Ora sak kepena'e dewe". (Tidak semaunya sendiri).
Semua akan ada akhirnya. Jangan lupa untuk mengakhiri dengan baik.
Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
BERITA TERKAIT: