Profesi kesehatan, selalu berupaya menghindari konflik, mendorong penyelesaian dengan menggunakan metode pemogokan merupakan opsi "buntut".
Tetapi pada akhirnya, pecah pula kebisuan tersebut. Jalan terakhir terpaksa ditempuh. Tersebab RUU Kesehatan, yang menjadi pangkal masalah.
Kumpulan organisasi profesi kesehatan menilai banyak masalah terkandung dalam usulan RUU Kesehatan.
Termasuk di antaranya mengenai: perlindungan hukum, mekanisme pendidikan, besaran anggaran kesehatan, peran organisasi profesi dan banyak hal lain.
Menjadi sedemikian banyak persoalan, karena RUU Kesehatan kali ini menggunakan metode omnibus law, yang berupaya merangkum semua hal terkait kesehatan, ke dalam satu nafas formula peraturan.
Lantas, tuntutan yang diusung aliansi profesi tenaga kesehatan, terdiri dari: Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Ikatan Apoteker Indonesia dan Ikatan Bidan Indonesia, adalah penghentian pembahasan omnibus law RUU Kesehatan.
Sebelumnya, berbagai diskusi publik dibuka, tetapi ruangnya menyempit ketika menyentuh substansi yang berbeda.
Terlihat terbuka sebagai sebuah proses formal, tetapi esensinya sudah final, harus ketok palu.
Secara bijaksana, pilihan untuk menghentikan pembahasan adalah sebuah langkah yang rasional. Ditujukan untuk melakukan pemetaan masalah secara mendalam.
Penghentian pembahasan RUU Kesehatan harusnya menjadi momentum jeda dan evaluasi ulang.
Pada berbagai forum, dinyatakan langkah besar omnibus law adalah upaya untuk mendorong perluasan akses kesehatan bagi publik.
Tetapi perlu diingat bahwa ada konsekuensi yang juga terbilang besar, bila kita tidak berhati-hati dalam merumuskan sebuah peraturan.
Prinsip kehati-hatian diperlukan, karena metode omnibus law akan mendekonstruksi berbagai peraturan lama dan membentuk aturan baru.
Format tersebut membutuhkan arena dialog yang luas, dan tentu diperlukan partisipasi para pemangku kepentingan terkait.
Nada yang berlainan dengan kehendak para penyusun peraturan perlu diakomodir, guna melihat peta persoalan secara utuh.
Dinamika pembahasan perlu dikembangkan untuk mencari titik solusi bersama, jangan sampai ada yang tertinggal.
Sampai di titik tersebut, problemnya kemudian mengemuka, pemangku kuasa menilai perspektif yang berbeda sebagai perlawanan.
Diberangus. Situasi itu menimpa Prof dr Zainal Muttaqin, SpBS yang dicopot dari pekerjaannya karena menyampaikan suara dan opini berbeda.
Padahal khasanah kekayaan pemikiran, terjadi ketika kita mampu melihat suatu permasalahan dengan multiperspektif, tidak memakai kacamata kuda.
Keterburu-buruan dalam merumuskan sebuah peraturan, harus dilihat dari signifikansi dan urgensi yang hendak dicapai.
Jangan sampai, sebuah aturan ditetapkan dengan menggunakan pendekatan kekuasaan. Upaya menghentikan perdebatan, dilakukan dengan surat edaran, sangat disayangkan.
Di lain pihak, barisan pendukung keberadaan RUU Kesehatan seolah diperhadapkan, berpotensi menimbulkan friksi horizontal.
Semua pihak sepakat bahwa persoalan kesehatan penting untuk dibenahi, khususnya pada aspek fundamental, yakni perbaikan sistem kesehatan nasional, dibutuhkan komitmen riil dalam politik dan anggaran.
Menariknya, sebagaimana tulisan Pekka Kaihilahti, Duta Besar Finlandia untuk Indonesia, (
Kompas, 27/4) berjudul "
Semua Bisa Bahagia", salah satu cermatan sang dubes menyebut ada secercah harapan bagi Indonesia untuk menjadi negara sejahtera dan bahagia, ketika pemerintah telah memiliki program penjaminan kesehatan secara universal, hal itu mampu memberi dukungan bagi publik secara menyeluruh.
Kita memiliki potensi tersebut, dan untuk itu upaya merumuskan bentuk terbaik dari omnibus law RUU Kesehatan kali ini, dengan duduk bersama, membuka kembali ruang diskusi sepenuh hati, demi kebaikan bersama di masa depan untuk semua pihak, tanpa terkecuali.
Penulis Tengah Menempuh Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
BERITA TERKAIT: