Menuju Kursi Kepresidenan
Perjalanan karir politik Jokowi menjadi presiden nampaknya sudah direncanakan matang dan berjalan mulus sesuai skenario. Pertama, karir politik Jokowi yang tidak dikenal di tingkat nasional tentu saja tidak bisa langsung lompat dari walikota menjadi presiden. Jokowi dirancang merebut kursi Gubernur DKI Jakarta terlebih dahulu sebagai batu loncat menuju kursi Presiden Republik Indonesia.
Menjelang Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012, Jokowi digambarkan secara masif sebagai sosok di belakang keberhasilan pembuatan mobil nasional yang dinamakan Esemka, yang digembar-gemborkan dapat membangkitkan proyek mobil nasional yang baru, sebagai antitesis mobil nasional Timor era Soeharto yang mendapat banyak kritikan dari masyarakat. Mobil nasional Esemka diharapkan menjadi simbol kebangkitan dan kemandirian industri otomotif Indonesia yang selama ini di bawah kendali Jepang, serta kemandirian industri Indonesia secara umum.
Sosok rakyat sederhana, didukung kekuatan marketing dan pendanaan yang sangat besar, akhirnya berhasil memenangi kontestasi Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Indonesia sekonyong-konyong digambarkan sebagai negara demokrasi yang idealis dan patriotik, di mana sosok sederhana dan merakyat seperti Jokowi dapat memenangi kontestasi pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang sangat prestise, didukung oleh partai politik dan pendanaan kampanye yang sangat besar, seolah-olah, tanpa pamrih.
Salah satu kebijakan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta adalah menghidupkan kembali proyek reklamasi Pantai Utara (Pantura) Jakarta yang kontroversial dan terkatung-katung sejak 1995. Jokowi menyerahkan proyek reklamasi Pantura Jakarta kepada beberapa pengembang (developer) saja, sebagai pengelola dan sekaligus pemilik lahan hasil reklamasi yang luasnya mencapai 5.150 hektar, lebih besar dari Jakarta Pusat dengan luas sekitar 4.800 hektar. Menyerahkan kepemilikan lahan hasil reklamasi kepada pengusaha terindikasi melanggar Keppres tahun 1995 yang isinya menyatakan pemerintah daerah sebagai pemilik lahan hasil reklamasi.
Belum genap dua tahun menjabat Gubernur DKI Jakarta, Jokowi kemudian diusulkan oleh gabungan beberapa partai politik yang dimotori oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) menjadi calon presiden Republik Indonesia pada pemilihan presiden (pilpres) 2014. Dalam sistem pilpres langsung yang dipilih oleh rakyat, visi dan misi calon presiden menjadi sangat penting dan menentukan untuk memenangi pemilihan presiden. Calon presiden Jokowi ketika itu sangat berani menyampaikan janji-janji kampanye yang terdengar sangat heroik.
Dalam bidang ekonomi, misalnya, Jokowi menjanjikan pertumbuhan ekonomi mencapai rata-rata 7 persen per tahun. Janji kampanye heroik lainnya, antara lain, mengurangi impor, mengurangi utang pemerintah, mengembangkan mobil nasional Esemka, mengambil alih Indosat, memperkuat korporasi Pertamina menjadi perusahaan yang disegani di Asia, hingga tol laut, dan masih banyak lainnya.
Janji kampanye heroik tersebut berhasil mengantar Jokowi ke kursi presiden untuk masa jabatan 2014-2019 (dan kemudian 2019-2024).
Kesenjangan Realisasi versus Janji Kampanye
Sistem konstitusi Indonesia setelah amandemen sebanyak empat kali selama periode 1999-2002 menghasilkan sistem presidensial yang tidak bertanggung jawab. Karena, amandemen konstitusi telah menghapus mekanisme pertanggungjawaban presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sehingga tidak ada lagi evaluasi terhadap kinerja presiden serta realisasi ekonomi terhadap janji kampanye.
Sebaliknya, banyak kebijakan ekonomi politik Jokowi sebagai presiden diambil secara ad hoc menyimpang dari janji kampanye. Pada tahun pertama, tim ekonomi Joko Widodo langsung menggebrak dengan menerbitkan berbagai paket kebijakan ekonomi hingga enam belas jilid. Mayoritas dari paket kebijakan ekonomi tersebut terkait pemberian stimulus (baca: kenikmatan) ekonomi kepada pengusaha untuk meningkatkan investasi dan lapangan kerja, untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi menjadi 7 persen sesuai janji kampanye.
Artinya, mayoritas dari enam belas jilid paket kebijakan ekonomi tersebut tidak langsung terhubung dengan janji kampanye, sehingga terkesan paket kebijakan ekonomi tersebut sebagai kebijakan coba-coba, bukan kebijakan berdasarkan analisis fundamental pembangunan ekonomi politik secara terstruktur.
Puncak kebijakan ekonomi politik yang diinisiasi pada tahun pertama Jokowi adalah undang-undang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) No 11 tahun 2016, yang diundangkan pada 1 Juli 2016 untuk periode 1 Juli 2016 hingga 31 Maret 2017.
Tujuan utama paket kebijakan ekonomi dan UU Pengampunan Pajak untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi ternyata tidak tercapai. Bahkan target yang ditetapkan ketika sosialisasi UU Pengampunan Pajak meleset jauh. Target pertumbuhan ekonomi, kurs rupiah terhadap dolar AS, dan rasio penerimaan pajak terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) tidak tercapai.
Pertumbuhan ekonomi periode 2015-2019 hanya mencapai rata-rata 5 persen per tahun, jauh lebih rendah dari janji kampanye sebesar 7 persen. Sedangkan kurs rupiah yang diperkirakan akan menguat hingga di bawah Rp 10.000 per dolar AS juga tidak terbukti. Sebaliknya, kurs rupiah sepanjang periode pertama Jokowi melemah dari sekitar Rp 12.000 per dolar AS ketika dilantik menjadi lebih rendah dari Rp 15.000 per dolar AS pada Oktober 2018.
Selain itu, program Tax Amnesty yang seharusnya menyasar uang ilegal yang disimpan di luar negeri agar masuk kembali ke Indonesia justru membebani penduduk dalam negeri yang diwajibkan melaporkan hartanya yang belum dilaporkan kepada instansi pajak, termasuk rumah tinggal. Realisasi repatriasi harta dari luar negeri hanya Rp 46 triliun, jauh lebih rendah dari target Rp 1.000 triliun.
Program Tax Amnesty juga gagal membuat rasio Penerimaan Pajak (terhadap PDB) naik dari 11,4 persen pada 2014 menjadi 14,6 persen pada 2019. Sebaliknya, rasio Penerimaan Pajak malah terus turun menjadi 9,8 persen pada akhir 2019. Tax Amnesty hanya menguntungkan pengusaha yang mempunyai uang ilegal, yang kemudian diputihkan dengan membayar uang tebusan antara 2 hingga 5 persen untuk repatriasi harta dari luar negeri ke dalam negeri, atau 4 hingga 10 persen untuk deklarasi harta yang berada di luar negeri.
Ironinya, kegagalan kebijakan ekonomi politik pemerintah, dalam hal ini presiden, seperti Tax Amnesty, mobil nasional Esemka, atau janji-janji kampanye lainnya yang terbukti gagal, tidak membawa konsekuensi apapun terhadap kedudukan presiden, sehingga yang bersangkutan bisa sesukanya memberi janji kosong, termasuk membuat undang-undang yang kemudian terbukti merugikan masyarakat dan ekonomi secara nasional.
Fundamental Ekonomi Lemah: Ekonomi 2015-2019 StagnanRealisasi pertumbuhan ekonomi periode 2015-2019 hanya mencapai rata-rata 5,0 persen per tahun, jauh di bawah target atau janji kampanye 7,0 persen, dan lebih rendah dari pertumbuhan dua periode lima-tahunan sebelumnya yang mencapai rata-rata 5,6 persen dan 5,8 persen per tahun pada periode 2005-2009 dan 2010-2014.
Tetapi, pertumbuhan ekonomi cukup baik, bukan berarti ekonomi secara keseluruhan dalam kondisi baik-baik saja, atau aman-aman saja. Artinya, ekonomi bisa mengalami krisis meskipun pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, seperti pengalaman Turki pada 2018, atau Indonesia pada 1997-98 dengan pertumbuhan ekonomi mencapai rata-rata 7,3 persen per tahun selama 1992-1996. Bahkan pertumbuhan ekonomi 1995 dan 1996 masing-masing mencapai 8,2 dan 7,8 persen. Meskipun demikian, ekonomi Indonesia masuk krisis pada 1997 dan 1998.
Pertumbuhan ekonomi Turki pada 2017 juga terbilang tinggi, mencapai 7,5 persen. Tetapi, mata uang Lira Turki terdepresiasi tajam pada 2018 sehingga memicu krisis mata uang (moneter) dan krisis ekonomi. Lira Turki terdepresiasi 72 persen dalam 8 bulan pertama 2018, dengan depresiasi 11,4 persen pada bulan Mei dan 32,75 persen pada bulan Agustus 2018. Ekonomi Turki hanya bisa selamat setelah beberapa negara Uni Emirat Arab membantu memberi pinjaman untuk menghentikan capital outflows. Meskipun demikian, pertumbuhan ekonomi Turki mengalami terjun bebas menjadi 3 persen pada 2018 dan 0,8 persen pada 2019.
Neraca Transaksi Berjalan dan Kurs Rupiah MelemahKinerja kurs mata uang sangat tergantung dari kinerja neraca transaksi berjalan. Kurs mata uang akan terdepresiasi kalau neraca transaksi berjalan mengalami defisit secara struktural. Untuk mengatasi kondisi defisit ini dan menahan kurs mata uang maka diperlukan aliran masuk modal asing (capital inflows), baik dari Investasi Langsung (PMA) maupun Surat Berharga (Portfolio: Saham dan Obligasi).
Artinya, defisit neraca transaksi berjalan mengakibatkan aset domestik dikuasai oleh pihak Asing. Kondisi ini membuat mata uang domestik rentan krisis. Ketika terjadi pelarian modal asing khususnya investasi Portofolio, atau yang dikenal dengan hot money, maka kurs mata uang domestik akan terdepresiasi tajam dan berpotensi memicu krisis moneter, seperti yang terjadi di Argentina, Turki dan Sri Lanka beberapa waktu yang lalu.
Beberapa indikator ekonomi Indonesia sejak 2014 juga terus memburuk, seperti tercermin dari neraca Transaksi Berjalan dan neraca Keuangan Negara (APBN).
Defisit neraca Transaksi Berjalan (= transaksi internasional) terus memburuk, dari surplus 32,4 miliar dolar AS pada periode 2005-2009 menjadi defisit 74,2 miliar dolar AS pada periode 2010-2014, dan defisit membesar menjadi 111,6 miliar dolar AS pada periode 2015-2019.
Defisit neraca transaksi berjalan ini membuat utang luar negeri melonjak dari 293,3 miliar dolar AS menjadi 403,6 miliar dolar AS selama lima tahun sejak 2014 hingga 2019. Penambahan utang luar negeri ini dimotori oleh pemerintah dan BUMN (swasta). Utang luar negeri pemerintah naik 61,4 persen dan swasta (termasuk BUMN) naik 22,6 persen, selama 5 tahun hingga akhir 2019.
Defisit neraca transaksi berjalan berkepanjangan membuat kurs rupiah terdepresiasi tajam, dari Rp 9.425 per dolar AS pada akhir tahun 2009 menjadi Rp 12.385 pada akhir tahun 2014, dan terdepresiasi lagi menjadi Rp 13.882 per dolar AS pada akhir tahun 2019. Bahkan kurs rupiah sempat terdepresiasi hingga Rp 15.220 per dolar AS pada 29 Oktober 2018.
Ketahanan Fiskal Semakin RapuhKondisi keuangan negara juga semakin buruk dan rapuh. Defisit APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) membesar sehingga membuat utang pemerintah naik tajam dari Rp 2.608,8 triliun pada 2014 menjadi Rp 4.784,7 triliun pada 2019, atau naik 83,4 persen. Salah satu sebabnya karena penerimaan negara, khususnya penerimaan pajak, relatif melemah. Rasio Penerimaan Pajak terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) turun dari 11,4 persen pada 2014 menjadi 9,8 persen pada 2019, menunjukkan kondisi fiskal semakin mengkhawatirkan. Penurunan Rasio Penerimaan Pajak ini mencerminkan kebijakan Tax Amnesty dan kebijakan fiskal gagal. Dampaknya beban bunga pinjaman juga meningkat tajam. Rasio Beban Bunga terhadap Penerimaan Pajak naik dari 11,6 persen (2014) menjadi 17,8 persen (2019).
Defisit transaksi berjalan dan defisit APBN pada gilirannya membuat kebijakan moneter tidak berdaya, tersandera kondisi fiskal yang semakin rapuh, dan membuat ekonomi tertekan. Karena Bank Indonesia harus mempertahankan tingkat suku bunga relatif tinggi untuk menarik minat investor membeli obligasi pemerintah maupun swasta.
Ilusi Sukses Pembangunan InfrastrukturBanyak pihak klaim bahwa pemerintahan Jokowi berhasil dalam belanja “produktif†yaitu belanja modal dan infrastruktur. Dalam nilai nominal, Belanja Modal memang selalu naik setiap tahunnya karena kenaikan Pendapatan Negara dan Belanja Negara. Tetapi, berdasarkan nilai relatif terhadap Belanja Negara, rasio Belanja Modal terhadap Belanja Negara tersebut hanya 9,37 persen untuk periode 2015-2019. Rasio ini lebih rendah dari dua periode lima tahunan sebelumnya, yang keduanya mencapai 9,46 persen.
Selain itu, pemerintahan Jokowi juga memberdayakan banyak perusahaan negara (BUMN) untuk membangun proyek-proyek infrastruktur komersial seperti jalan tol, bandar udara, pelabuhan atau kereta angkutan massal seperti LRT di Palembang atau kereta cepat Jakarta Bandung. Sayangnya, banyak BUMN tersebut kemudian menghadapi masalah cashflows serius, sehingga memicu penjualan aset besar-besaran, dan mengalami rugi. Kerugian BUMN ini pada akhirnya memaksa pemerintah untuk menambah penyertaan modal negara kepada BUMN, yang mencapai Rp143,2 triliun untuk periode 2015-2019.
Undang-Undang Kontroversial dan BermasalahPemerintahan Jokowi banyak menjalankan kebijakan ekonomi politik yang pro pengusaha besar dengan merugikan masyarakat kelompok menengah bawah, seperti UU Pengampunan Pajak. Kebijakan ini dilegalisasi dengan undang-undang, yang terkadang melanggar konstitusi. Selain UU Pengampunan Pajak dan Perppu tentang Pandemi Covid-19, UU kontroversial lainnya, antara lain, UU tentang KPK (2019), UU tentang Ibu Kota Negara atau IKN (2019), UU Omnibus Cipta Kerja, UU PPSK (Pengembangan dan Penguatan Sistem Keuangan) dan Perppu Cipta Kerja yang menuai penolakan luas dari masyarakat.
UU KPK 2019 melemahkan pemberantasan korupsi seperti dimaksud TAP MPR No XI Tahun 1998 dan TAP MPR No VIII Tahun 2001. UU IKN dengan konsep Badan Otorita sebagai Pemerintah Daerah berpotensi melanggar Konstitusi terkait Pemerintah Daerah. UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional (bersyarat) oleh Mahkamah Konstitusi, tetapi pemerintah malah menerbitkan Perppu Cipta Kerja sebagai pengganti. UU PPSK yang menyatakan OJK sebagai penyidik tunggal di sektor jasa keuangan berpotensi melanggar wewenang lembaga penegak hukum lainnya terkait penyidikan terhadap kejahatan keuangan.
Diselamatkan Pandemi dan Harga Komoditas: 2020-2022Pandemi Covid-19 melanda dunia dan menyebar di Indonesia sejak akhir Februari 2020. Pandemi mendorong pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2020 pada 31 Maret 2020, yang berlaku hingga 31 Desember 2022.
Perppu Covid-19 ini menghilangkan batas defisit APBN yang sebelumnya ditetapkan maksimal 3 persen dari PDB menjadi tidak terbatas, serta menghilangkan independensi Bank Indonesia dengan “mewajibkan†otoritas moneter tersebut membeli surat berharga negara di pasar primer, yang sebelumnya dilarang. Selain itu, Perppu juga memberi imunitas hukum kepada penyelenggara negara dari segala tuduhan korupsi.
Pandemi covid-19 membuat defisit fiskal meningkat tajam menjadi Rp956,3 triliun pada 2020 dan Rp783,7 triliun pada 2021, dan mengakibatkan utang pemerintah melonjak dari Rp4.784,7 triliun (2019) menjadi Rp6.908,9 triliun (2021) dan beban bunga pinjaman terhadap Penerimaan Pajak juga naik menjadi 22,2 persen per akhir 2021.
Di lain sisi, untuk menjaga pertumbuhan ekonomi global agar tidak terpuruk lebih dalam, Bank Sentral negara maju memberi stimulus moneter dengan menurunkan suku bunga acuan hingga nol persen, diikuti dengan kebijakan quantitative easing. Kebijakan ini bersifat inflationary, membuat harga komoditas naik, dan memicu inflasi tinggi.
Bagi Indonesia yang mempunyai struktur ekonomi berbasis komoditas yang cukup kuat, kebijakan moneter inflationary dan kenaikan harga komoditas, khususnya mineral, batubara, minyak sawit, karet, memberi keuntungan ekonomi yang sangat signifikan. Neraca perdagangan mencatat surplus tertinggi sepanjang sejarah. Kinerja neraca perdagangan membaik dari defisit 3,04 miliar dolar AS pada 2019 menjadi surplus 50,57 miliar dolar AS per November 2022 (11 bulan). Neraca transaksi berjalan juga membaik dari defisit 30,28 miliar dolar AS pada 2019 menjadi surplus 8,97 miliar dolar AS per November 2022 (11 bulan).
Kebangkitan neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan ini disebabkan oleh kenaikan tajam harga komoditas sejak Juni 2020, akibat kebijakan moneter global yang bersifat inflationary tersebut. Sebagai contoh, harga rata-rata minyak sawit selama 9 bulan pertama 2022 naik 132 persen dibandingkan dengan harga rata-rata tahunan 2019 (sebelum pandemi). Sedangkan harga batubara naik 290 persen untuk periode tersebut.
Kenaikan harga komoditas andalan ekspor Indonesia ini juga menyelamatkan keuangan negara. Penerimaan Perpajakan (pajak ditambah bea ekspor-impor) tahun 2021 naik 20,6 persen terhadap tahun sebelumnya (YoY), dan pada tahun 2022 (hingga November) naik 40,6 persen (YoY). Sedangkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tahun 2021 dan 2022 (hingga November) masing-masing naik 33,5 persen dan 37,8 persen (YoY). Untuk sementara, ekonomi dan keuangan negara terselamatkan.
Ekonomi Politik 2023-2024 Rentan KrisisKinerja ekonomi tahun 2023 dan 2024 tergantung dari kebijakan moneter global dan dampaknya terhadap harga komoditas. Bank sentral negara maju, khususnya Amerika Serikat, diperkirakan akan terus melakukan koreksi kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga acuan sampai inflasi terkendali, menjadi sekitar 2 persen. Bank Sentral AS, the Federal Reserve, sudah menaikkan suku bunga sebesar 4,25 persen sepanjang tahun 2022. Meskipun demikian, tingkat inflasi AS masih cukup tinggi, mencapai 7,1 persen per November 2022 dan jauh lebih tinggi dari target inflasi 2 persen. Artinya, suku bunga global tahun 2023 masih akan naik.
Koreksi kebijakan moneter global ini akan berdampak pada dua hal. Pertama, pertumbuhan ekonomi global akan mengalami tekanan, dengan kemungkinan resesi, yang pada gilirannya membuat permintaan dan investasi global turun. Kedua, kenaikan suku bunga global akan membuat harga komoditas turun. Kedua hal ini akan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia dan keuangan negara tertekan: ekspor, investasi dan permintaan domestik turun. Di samping itu, defisit neraca transaksi berjalan dan defisit APBN akan kembali memburuk, utang pemerintah meningkat, dan kurs rupiah semakin melemah.
Harga komoditas, kecuali batubara, mulai turun sejak Bank Sentral AS menaikkan suku bunga pada Maret 2022. Dengan menggunakan indeks harga Januari 2022 = 100, indeks harga rata-rata bulanan minyak sawit mencapai puncaknya 219 pada Maret 2022, dan kemudian terus merosot menjadi 112 hingga September 2022. Artinya, harga rata-rata bulanan minyak sawit pada September 2022 hanya naik 12 persen dibandingkan Januari 2020. Harga rata-rata bulanan karet pada September 2022 malah turun 12 persen (indeks harga = 88) dibandingkan Januari 2020. Hanya harga batubara yang masih bertahan tinggi. Pertanyaannya, sampai kapan? Ketika harga mineral dan batubara turun, maka ekonomi dan keuangan negara akan goyah, dan berpotensi menjadi krisis.
*Penulis adalah Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
BERITA TERKAIT: