Serta setiap kali melakukan rapat koordinasi dan supervisi pemberantasan korupsi terintegrasi di daerah, kami terus menerima keluhan yang sama.
Apa itu ?
KPK menyerap informasi dan keluhan langsung dari rumpun legislatif dan eksekutif di daerah yang mengeluhkan biaya pilkada yang mahal, sehingga membutuhkan modal besar. Modal besar untuk pilkada sangat berpotensi membuat seseorang melakukan tindak pidana korupsi, karena setelah menang akan ada misi “balik modalâ€.
Di sisi lain mencari bantuan modal dari “bohir politik†akan mengikat politisi-politisi di eksekutif/legislatif dalam budaya balas budi yang korup.
Fakta data KPK terakhir, 82,3 persen calon kepala daerah menyatakan adanya donator dalam pendanaan pilkada mereka. Data KPK menemukan banyak bentuk balas budi pada donator pilkada. Salah satunya, 95,4 persen balas budi pada donatur akan berbentuk meminta kemudahan perijinan terhadap bisnis yang telah dan akan dilakukan atau 90,7 persen meminta kemudahan untuk ikut serta dalam tender proyek pemerintahan (pengadaan barang dan jasa).
Lebih menariknya, kesadaran dan informasi ini didapat KPK dari mereka sendiri para gubernur, kepala daerah dan legislatif. Mereka semua menyadari, dorongan korupsi akan sangat tinggi jika biaya politik sangat mahal. Kenapa?
Prinsip balik modal dan balas budi pada donator membuat kepala daerah dan anggota legislatif akan menciptakan birokrasi yang korup, karena dari mana lagi mereka mencari pengganti itu kalau bukan dari kas negara.
Di tanah kelahiran saya sendiri, di Kabupaten Muara Enim, Ahmad Yani selaku Bupati dicopot dari jabatannya setelah majelis hakim kasasi Mahkamah Agung (MA) memperberat hukuman Ahmad Yani menjadi 7 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan serta kewajiban membayar uang pengganti Rp 2,1 miliar.
Lalu, Juarsah, Wakil Bupati Muara Enim kemudian dilantik sebagai Bupati Muara enim menggantikan Yani. Namun, Juarsah, ikut ditahan KPK terkait kasus suap fee proyek yang sama di masa dirinya menjabat sebagai Wakil Bupati. Bahkan saat ini anggota DPRD Kabupaten Muara Enim 25 orang berperkara korupsi dan tengah ditangani KPK.
Pada contoh tersebut, pertanyaanya, mengapa rumpun eksekutif dan legislatif secara mufakat melakukan perilaku koruptif?
Dari informasi dan keluhan yang langsung saya dengar, ya karena biaya politik yang mahal, sekali lagi memunculkan upaya “balik modal†dan “balas budi†sehingga terdorongan melakukan tindak pidana korupsi.
Biaya politik yang mahal tidak hanya soal kampanye, tapi juga politik transaksional atau disebut mahar politik, kita bisa belajar dari Kabupaten Ogan Komering Ulu (Oku) tempat saya lahir, sampai sekarang tidak punya Bupati. Bupati terpilih telah meninggal, sementara Wabup Kabupaten Oku divonis 8 tahun.
Sewaktu pilkada merupakan calon tunggal karena semua partai diambil sebagai pendukung, namun sampai sekarang tidak juga tercapai suatu kesepakatan dari 9 parpol untuk mengajukan calon Bupati pengganti sehingga sampai sekarang tidak ada Bupati definitif.
Kenapa ini terjadi, ya karena politik transaksional dengan mahar. Persoalannya politik transaksional akan menciptakan kultur kepemimpinan yang koruptif karena akan membutuhkan modal sangat besar.
Lalu apakah kita semua tidak bisa melihat relasi tersangka 33 pimpinan Kementerian Lembaga, 22 Gubernur, 141 kepala daerah, 309 anggota legislatif, dan 345 pihak swasta dalam seluruh tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK ?
Selain adanya indikator memperkaya diri, upaya “balik modal†dan “balas budi†pada donatur oleh para kepala daerah dan legislatif setelah terpilih, membuat KPK merasa penting bersikap sehingga pemberantasan korupsi bisa diselesaikan dari hulu ke hilir.
Pada konteks ini maka saya berpendapat bahwa jika PT 0 persen bisa membuat mahar politik parpol hilang dan biaya kampanye murah, sehingga pejabat terpilih lebih leluasa bekerja baik, ketimbang mikir korupsi untuk balik modal dan balas budi donatur, kenapa tidak PT ini 0 persen.
Jika memang biaya politik mendorong hasrat korupsi yang membabi buta bagi seluruh pejabat politik, maka harus segera ditangani akar persoalannya. Salah satunya
presidential threshold.
Jika memang PT telah mendorong politik transaksional dalam bentuk mahar-mahar politik dan biaya politik mahal menciptakan donokrasi maka, pemberantasan korupsi harus diupayakan dengan perbaikan kultur dan sistem pemilihan raya di Indonesia yang dipimpin orkestrasinya langsung oleh Presiden RI, Bapak Joko Widodo.
Pendapat saya terkait PT 0 persen adalah semata-mata untuk tujuan penanganan potensi dan pemberantasan korupsi yang maksimal karena itulah konsentrasi KPK.
Pendapat saya, bukan berarti saya memasuki ranah politik. Sekali lagi saya tegaskan bahwa saya tidak memasuki ranah kamar politik atau kamar kekuasaan yudikatif.
Saya hanya ingin Indonesia bebas dan bersih dari praktik korupsi. Untuk membebaskan Indonesia dari lilitan korupsi maka perlu peran segenap anak bangsa dan perlu orkestrasi Nasional membangun Budaya Antikorupsi dalam upaya-upaya pemberantasan korupsi.
BERITA TERKAIT: