Sahabat Din seorang antropolog senior yang sangat berpengaruh dari Universitas Chiba, Prof. Mitsuo Nakamura menemukan fakta bahwa Muhammadiyah sudah dikenal masyarakat Jepang sejak tahun 1970-an. Bahkan menurutnya jauh sebelum Indonesia merdeka tepatnya pada tahun 1937, organisasi yang didirikan oleh K. H. Ahmad Dahlan ini sudah melakukan hubungan harmonis dengan Jepang.
Bila merujuk pada temuan Nakamura yang ditulis dalam disertasi doktornya yang telah diterbitkan dengan judul 'Bulan Sabit Terbit di Atas Pohon Beringin', maka penghargaan yang diterima Din sebenarnya merupakan apresiasi terhadap perannya melanjutkan hubungan harmonis antara dua masyarakat yang sudah dirintis Muhammadiyah.
Din memang Ketua Muhammadiyah di era modern yang paling aktif mengembangkan dialog antar agama dan peradaban lintas negara. Bahkan posisinya sebagai Ketua Umum Muhammadiyah dirasa tidak cukup untuk menampung gagasan dan semangatnya. Untuk itu ia dan sejumlah tokoh senior Muhammadiyah mendirikan Centre for Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC).
Kiprahnya juga tidak bisa dilepaskan dari kapasitasnya sebagai tokoh agama baik dalam posisinya sebagai pimpinan MUI, maupun sebagai cendekiawan yang mengajar di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah.
Din seolah selalu kekurangan wadah untuk menampung gagasan dan energinya untuk terus- menerus mengembangkan gagasan dan pemikiran Islam yang moderat dan toleran ( Islam Wasathiah ) agar Ummat Islam dapat membawa Rahmatan lil Alamin (rahmat bagi penghuni alam semesta).
Din Syamsuddin sejatinya tidak melakukannya hanya untuk Pemerintah dan masyarakat Jepang, akan tetapi terhadap semua masyarakat di dunia melalui berbagai bentuk dialog antar agama dan peradaban demi kebaikan dan kemajuan bersama.
Di dalam negri sebenarnya ia telah mendapatkan penghargaan lebih dahulu atas kiprahnya membangun toleransi dan saling pengertian diantara ummat beragama oleh Pemerintah Indonesia dengan ditunjuk sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradaban.
Bagi para politisi di Indonesia, Din dipandang bukan hanya sebagai tokoh agama dan cendekiawan, akan tetapi ia juga seorang politisi. Akan tetapi ia bukan politisi kebanyakan yang berpolitik dengan cara mengumbar kemarahan, mencari kesalahan lawan, lebih suka menggunakan telunjuk untuk menuding dalam mengungkapkan sebuah gagasan politik. Din memilih cara merangkul dan mengulurkan tangan siap berjabat tangan kepada semua orang. Karena itu, baginya seolah tidak ada lawan, semuanya kawan. Karena itu ia tidak memilih partai politik sebagai kendaraan.
Sebagai ulama atau cendekiawan ia sudah mendapatkan berbagai bentuk penghargaan dari dunia internasional, akan tetapi sebagai politisi non partisan dan langkahnya yang non konvensional masih perlu waktu untuk menilainya.
[***]
Dr. Muhammad Najib
Direktur Eksekutif CDCC (Center for Dialogue and Cooperation among Civilization)
BERITA TERKAIT: