Prabowo Tetap Tak Mau Status Bencana Nasional

Rabu, 17 Desember 2025, 01:02 WIB
Prabowo Tetap Tak Mau Status Bencana Nasional
Gubernur Aceh Muzakir Manaf berbincang dengan Presiden Prabowo Subianto.(Foto: Humprov Adpim Aceh)
WALAU Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) sudah minta bantuan dunia internasional, Presiden Prabowo Subianto bergeming. Ia tetap bersikukuh tak mau status bencana nasional.

Prabowo menyatakan situasi terkendali. Ini “baru” tiga provinsi dari 38 dan Indonesia “mampu sendiri” tanpa status bencana nasional. 

Pernyataan itu langsung bertemu realitas yang tidak ikut sidang kabinet. Karena tiga provinsi yang disebut “masih bisa di-handle” itu, per 16 Desember 2025 menurut data resmi BNPB, telah menelan 1.030 korban jiwa. 

Aceh menyumbang duka paling dalam dengan 431 orang meninggal, disusul Sumatera Utara 355 orang, dan Sumatera Barat 244 orang. 

Cerita belum selesai, sebab 206 orang masih dinyatakan hilang, menggantung di antara harapan keluarga dan kemungkinan terburuk.

Di titik inilah kata “terkendali” mulai terdengar seperti istilah teknis yang kehilangan rasa. 

Sebab selain korban meninggal, tercatat sekitar 7.000 orang luka-luka, lebih dari 624.000 jiwa mengungsi, dan 186.488 rumah rusak -- angka yang cukup untuk membangun satu kota baru, andai kota itu tidak dibangun dari puing dan trauma.

Negara memang mengerahkan sumber daya, tapi sendi-sendi pelayanan publik ikut roboh. Ada 219 fasilitas kesehatan terdampak, ironis di saat warga paling membutuhkan pengobatan. Ada 967 fasilitas pendidikan rusak, membuat anak-anak belajar langsung dari silabus bencana. 

Ada 434 rumah ibadah ikut terdampak, seolah doa pun harus antre. Ditambah 290 gedung perkantoran dan 145 jembatan yang ambruk, memutus bukan cuma akses jalan, tapi juga ritme hidup masyarakat.

Di tengah angka-angka inilah muncul kontras yang sulit ditutupi. Saat pusat bicara tentang kemandirian nasional dan menolak bantuan luar demi martabat negara, Gubernur Aceh justru secara terbuka meminta bantuan internasional, menyurati UNDP dan UNICEF dua lembaga PBB yang bagi Aceh bukan sekadar nama, tapi penyelamat yang pernah hadir nyata pascatsunami 2004. 

Permintaan itu bukan drama politik, melainkan refleksi lapangan. Infrastruktur hancur, pengungsi menumpuk, logistik dan layanan dasar kewalahan. 

Bahkan bantuan dari Malaysia dan China sudah mulai masuk, sementara relawan internasional bersiap turun.

Maka di sinilah dua narasi berdiri berhadapan. Dari Jakarta terdengar suara, kami mampu sendiri. 

Dari Aceh terdengar gema, kami butuh bantuan. Yang satu bicara kapasitas negara, yang lain bicara daya tahan rakyat. Keduanya sama-sama benar, tapi tidak berada di level penderitaan yang sama.

“Tidak menetapkan status bencana nasional” mungkin sah secara administrasi, mungkin juga strategis secara politik. 

Tapi data BNPB menunjukkan satu hal telanjang, kemampuan negara untuk menolak bantuan luar tidak otomatis berarti penderitaan di lapangan sudah tertangani. 

Kemandirian nasional sedang diuji bukan oleh dunia internasional, melainkan oleh 1.030 nyawa yang sudah hilang, 206 orang yang belum ditemukan, dan ratusan ribu warga yang sampai hari ini masih hidup sebagai pengungsi.

So, ketika kita mendengar kata “terkendali”, pertanyaannya sederhana, terkendali menurut siapa? Menurut meja rapat, atau menurut lumpur yang masih setinggi dada di kampung-kampung Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat?

"Banjir biasanya, seminggu sudah surut, rumah bisa ditempati lagi. Lah, ini banjir lumpur setinggi dada, bahkan ada rumah terlelap lumpur. Tak bisa bisa lagi ditempati," teriak pengungsi Aceh. 

Pada akhirnya, perdebatan ini bukan soal siapa paling nasionalis atau siapa paling percaya diri berdiri sendiri. 

Ini soal waktu, nyawa, dan skala luka. Data BNPB tidak sedang beropini, 1.030 orang meninggal, 206 hilang, lebih dari 624.000 mengungsi, 186.488 rumah rusak, ratusan fasilitas publik lumpuh. 

Angka-angka ini tidak mengenal pidato, tidak peduli jargon kemandirian, dan tidak tunduk pada status administrasi. Ia hanya mencatat siapa yang selamat dan siapa yang tidak.

Maka kemandirian sejati bukan diukur dari seberapa tegas menolak bantuan dunia, melainkan dari seberapa cepat negara memastikan warganya tidak dibiarkan terlalu lama sendirian. 

Jika pusat berkata “kami mampu sendiri”, sementara daerah, seperti Aceh, terpaksa mengetuk pintu internasional demi menyelamatkan rakyatnya, maka yang perlu diselaraskan bukan semangatnya, melainkan kenyataannya.

Karena negara besar bukan negara yang malu dibantu, dan juga bukan negara yang gagah di podium tapi lambat di lumpur. Negara besar adalah yang berani berkata: kami kuat, kami bekerja, dan bila perlu, demi nyawa manusia, kami tidak gengsi menerima uluran tangan. 

Di situlah martabat sebenarnya berdiri, bukan pada penolakan, tapi pada keberpihakan yang paling cepat sampai ke korban.

Tutup buku. Matikan mikrofon. Turun ke lapangan. Karena di sana, di antara air keruh dan rumah yang hilang, satu pertanyaan terus mengendap, bukan lagi apakah negara mampu sendiri, melainkan apakah negara cukup cepat untuk mereka yang hampir habis harapannya.rmol news logo article

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA