Coba juga lihat gambar-gambar profil yang ada di kontak telepon selular kita, banyak yang memasang gambar bertemakan Pancasila. Saya sendiri yang berstatus sebagai abdi negara dan berkantor di Jalan Medan Merdeka Selatan menemui kemacetan yang luar biasa pada 1 Juni yang lalu. Ya, tak bisa dimungkiri bahwa segenap rakyat Indonesia berkhidmat memperingati hari lahir ideologi negara tersebut.
Dalam tataran superstruktur pemerintahan, kebijakan pemerintahan Jokowi yang menetapkan 1 Juni sebagai hari libur nasional cukup layak diapresiasi. Ini artinya rakyat Indonesia tanpa kecuali memiliki waktu “setidaknya†1x24 jam untuk berkontemplasi membaca dan memahami (kembali) apa yang menjadi esensi dari dasar negara bersendikan lima sila tersebut. Sesuatu yang mungkin terlupa atau barangkali dilupa selama ini.
Seakan tak cukup kuat dengan menyakralkan tanggal 1 Juni saja, pemerintahan Jokowi melalui Kepres No. 54 Tahun 2017 membentuk suatu unit khusus yang bertugas membantu presiden dalam merumuskan arah kebijakan umum dan melaksanakan koordinasi pembinaan ideologi Pancasila. Namanya UKP-PIP, singkatan dari Unit Kerja Presiden - Pembinaan Ideologi Pancasila.
Banyak yang menyambut positif kebijakan ini, tapi tak sedikit yang bernada negatif jika mengingat masa kelam orde baru dulu dengan BP7-nya.
Menyimak hiruk-pikuknya peringatan hari lahir Pancasila tahun ini, saya tergelitik untuk membuat sebuah analogi, semoga analogi ini bersifat konstruktif meskipun sedikit “nyinyirâ€.
Dalam suatu kesempatan mengikuti ceramah Jumat di kantor, khatib yang naik mimbar menyampaikan ceramah bertemakan kesalehan sosial. Apa yang beliau sampaikan selama 15 menit kurang lebih intinya begini, tak bosan-bosan seorang hamba Allah jengkang-jengking sholat, lima waktu plus sunah-sunahnya.
Belum lagi ditambah puasa, dzikir, wirid, dan sebagainya, namun apa yang diamalkan tersebut tidak termanifestasikan dengan baik dalam laku sosialnya. Tutur kata kepada sesama tidak sopan, malah cenderung kasar, tidak mau menyapa dulu jika bertemu orang lain hanya karena merasa tinggi ilmu dan derajat, serta tidak peka terhadap perasaan dan penderitaan sesama. Inilah yang beliau sebut sebagai kesalehan secara individu, tapi tidak saleh secara sosial.
Dalam konteks ber-Pancasila, saya sedikit khawatir bahwa kita terjebak pada dramaturgi ber-Pancasila seperti halnya dramaturgi beribadah seperti yang dicontohkan khatib tersebut. Kita berkutat pada hal-hal yang bersifat “depan panggung†dan artifisial, namun kita alfa akan hakikat dan esensinya untuk diamalkan dalam pikiran, ucapan, dan laku hidup sehari-hari.
Kita melakukan gimmick-gimmick untuk mendapatkan tempik sorak dan puja-puji seakan kita paling nasionalis atau patriotis, padahal kita menipu bangsa dan negara, bahkan diri sendiri.
Tanpa bermaksud menegasikan ikhtiar pemerintah atau euforia yang mungkin hanya berlangsung sehari itu di masyarakat, saya berpandangan bahwa yang kita butuhkan saat ini untuk menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila di pikiran kita (jika kita memang manusia, pasti kita punya pikiran!) adalah hati yang bersih dan pikiran terbuka. Dua solusi yang mungkin terdengar sederhana atau barangkali klise di telinga, tapi sungguh-sungguh sulit untuk dilaksanakan.
Coba bayangkan, jika pemerintah tidak memiliki hati bersih, jangan-jangan peringatan hari lahir Pancasila yang gegap gempita tahun ini punya muatan politik, bertujuan menghantam kelompok tertentu yang berfikiran sempit, atau lain sebagainya. Sungguh kasihan rakyat negeri ini. Saya punya sedikit bayangan buruk ke depan.
Coba bayangkan apabila UKP-PIP yang digadang-gadang menjadi tembok terakhir penjaga Pancasila diisi oleh orang-rang yang tidak amanah, mengentit anggaran negara, sudah barang tentu cita-cita murni pembentukannya tidak akan tercapai.
Coba bayangkan pula apabila peringatan hari lahir Pancasila ini diperingati oleh mereka-mereka yang berstatus abdi negara atau karyawan swasta namun berfaham sempit. Tentunya tangan, kaki, serta anggota badannya yang jengkang-jengking pada saat upacara (kebetulan instansinya mewajibkan untuk ikut upacara), hanya mendapatkan letih yang sia-sia. Esensi dan makna Pancasila menjadi suatu hil yang mustahal menancap dan terpatri di hatinya. Hati dan kepalanya masih berangan-angan akan sebuah negara dengan ideologi atau paham selain Pancasila.
Apa yang sebut sebagai bersih hati dan pikiran terbuka sederhanyanya bisa dikonkretisasi dalam bentuk keteladanan hidup. Seorang pemimpin, apalagi pemimpin negara, hendaknya tidak korupsi, mengambil kebijakan sesuai amanah rakyat, mengedepankan hati nurani dalam mengambil keputusan. Ini perlu kita camkan mengingat dalam suatu rezim politik apalagi pemimpin yang dibelenggu partai sangat rentan akan bisikan para Sangkuni. Seorang abdi negara harus menyadari bahwa jabatan sebagai abdi negara adalah pekerjaan yang sangat riskan.
Di satu sisi mendatangkan amal dan pahala yang besar, tapi di sisi lain tak lebih sebagai “pagar makan tanaman†atau bromocorah berseragam apabila tidak amanah. Mereka yang bergelut di lembaga-lembaga kemasyarakatan atau keagamaaan, apapun platform dan haluannya, hendaknya tidak menegasikan atau menjadi musuh dalam selimut terhadap ideologi negara. Bagi yang tidak bersepakat, mungkin lebih baik tidak menghirup dan memamah udara dan hasil bumi negeri ini.
Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa harus bisa kita terapkan secara konsisten dan konsekuen. Eksistensi Indonesia selama kurang lebih 72 tahun tidak terlepas dari daya cengkeram Pancasila yang membuat bangsa dan negara ini kokoh. Kuatnya Pancasila merupakan bukti bahwa ideologi ini merupakan komitmen bersama segenap rakyat Indonesia, digali dan dihimpun dari nilai-nilai luhur bangsa.
Pancasila bukanlah azimat yang bersifat ahistoris atau tercerabut dari akar budaya bangsa Indonesia.
Coba kita tengok apa yang terjadi pada Uni Soviet dekade 1990-an. Naiknya Gorbachev denga langgam-langgam glasnost dan perestroika-nya menggantikan komunisme dan leninisme justru menyebabkan Uni Soviet pecah berkeping-keping sebagai negara. Ada perbenturan antara komunisme dan liberalism di situ yang terjadi karena resistensi rakyat dan kegamangan pemimpin.
Kemajuan dan kemuthakiran Tiongkok dewasa ini adalah suatu hal yang paradoksal. Di satu sisi mereka kekeuh dengan ideologi komunis dalam praksis politik, tapi bergenit ria dengan liberalisme dalam menjalankan kebijakan ekonominya. Bukan saja paradoksal, tapi penuh hipokrisi. Sekali lagi, kita sudah seharusnya bersyukur memiliki ideologi Pancasila. Jalankan Pancasila secara saleh dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, serta bernegara. Sudah menjadi kewajiban kita bersama.
[***]
Boy AnugerahAnalis Kerja Sama Luar Negeri
Biro Kerja Sama Lemhannas RI
Alumnus Magister Ketahanan Nasional Universitas Indonesia/Abdi Negara
Email :
[email protected]