Berbagi kebajikan adalah semangat semua agama. Sebab kebajikan merupakan awal dan akhir dari aktualitas diri sebagai makhluk sekaligus khalifah Tuhan di dunia dan akhirat kelak. Dalam level dunia, kebajikan akan mengantarkan sesama manusia terus berada dalam aliran kehangatan manusiawi atau istilah kerennya, senantiasa bertumbuh dalam keharmonisan berkemanusiaan. Adapun pada konteks akhirat, sebagaimana janji Allah, siapa saja yang menjadi pelaku terbaik dari kebajikan akan mendapatkan surga yang penuh nikmat-nikmat pilihan di hadapan Allah.
Kebajikan, menurut tradisi agama Budhis, harumnya dapat melawan arah angin. Sedangkan orang yang bajik, pastilah harumnya menyebar ke segenap penjuru. Bahkan, masih versi agama Budhis, pada level tertentu harum kebajikan itu melebihi harum kayu cendana, bunga tagara, teratai atau pun melati hutan. Harum dalam konteks spirit nilai kebajikan ini benar-benar melampaui harum material yang serba terbatas sebagaimana sering kali diburu kebanyakan manusia. Dalam istilah religius, itulah harum berdimensi spiritualitas dan ilahiah, menakjubkan dan mengagumkan.
Potret Kebajikan
Dari perspektif Islam, potret kebajikan itu pasti Nabi Muhammad Saw. Ini nyata dan jelas dikatakan oleh Alquran, surat al-Ahzab [33]: 21, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah Muhammad itu suri teladan yang baik bagimu.†Beliau adalah potret dan teladan terbaik bagi siapa saja yang menghendaki kebajikan dengan pelbagai makna, fungsi dan orientasinya. Kebajikan dan keteladanan Muhammad benar-benar telah menjadi cahaya bagi dunia, baik dalam aspek imani (berbasis iman dan spiritualitas) maupun aspek akhlaqi (berbasis sosial kehambaan dan moralitas kemanusiaan).
Frithjof Schuon, pernah menegaskan bahwa hakikat Muhammad memiliki himpunan kebajikan yang terdiri dari empat bagian yang bersinergi dengan empat titik penting dalam ruang. Diantara titik kebajikan Muhammad, pertama, adalah kemurnian, yang berkait dengan ketenangan dan penarikan diri. Kedua, kekuatan yang berhubungan dengan semangat dan kewaspadaan. Ketiga, keindahan yang menyangkut aktualisasi ketenangan dan rasa syukur. Keempat, kebaikan dan cinta, yang selalu berkait dengan kepastian sekaligus kemurahan hati.
Kebajikan-kebajikan yang melekat dan menjadi keteladanan Nabi Muhammad ini sungguh tak bisa dihindari oleh kita sebagai masyarakat beragama. Bahwa amat sulit meneladani semua kebajikan pada diri Nabi Muhammad, adalah hal yang lumrah dan normal dalam konteks kita sebagai manusia dan hamba-Nya, berbeda dengan beliau sebagai Nabi dan Rasul-Nya. Akan tetapi, menutup mata dan menghindarkan diri sejauh mungkin dari kebajikan-kebajikan yang diteladankan Nabi Muhammad, tentu merupakan penistaan tersendiri atas ajaran dan keteladanan yang telah dicanangkan.
Kebajikan bukan hal yang sulit ketika dipandang dan diolah tumbuhkan dengan niat maupun spirit berbasis imani dan akhlak kehambaan. Bagi kita yang beriman, kebajikan adalah cita-cita sekaligus amal yang senantiasa harus dilakukan tanpa dibatasi ruang dan waktu. Bukankah lantaran kebajikan-kebajikan Nabi Muhammad Saw mampu mencerahkan manusia dan peradabannya. Dari dan untuk kebajikanlah Nabi Muhammad telah mengubah wajah dunia yang tadinya penuh angkara, kekerasan, eksploitasi, hegemonisasi, menjadi bermartabat, penuh kehangatan sosio-manusiawi dan kehambaan.
Kebajikan Pancasila(is)Diantara titik kebajikan yang diteladankan Nabi Muhammad, wabilkhusus menyangkut kemurnian, keindahan, maupun kebaikan dan cinta, tampak memiliki semangat yang sama dengan visi dan misi luhur Pancasila, terutama sila kedua, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab dan sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Betapa pun berat tantangan Nabi Muhammad saat mengenalkan Islam, beliau tetap mengedepankan penyelesaian kemanusiaan yang dipadu dengan spirit imani.
Di tengah puasa Ramadan ini, pelbagai problematika sosial kebangsaan dan kenegaraan, perlu dicermati dan diselesaikan dengan ketenangan dan rasa syukur sehinga kelak melahirkan keindahan dalam berbangsa dan bernegara, bukan terus saling meninggikan egoisme atau malah menempatkan diri antikebajikan dalam lingkup tatanan kebernegaraan Pancasila yang sudah lama dinikmati. Kejujuran sikap dan amal kebangsaan yang dilandasi semangat keimanan, tentu akan menjadi bagian potret kebajikan yang searah dengan perikemanusiaan berkeadilan dan berkeadaban.
Dinamika sosial adalah hal yang niscaya dalam kehidupan, termasuk hidup berbangsa dan bernegara. Lalai dan salah pun demikian, selalu mempunyai ruang dan konsekuensinya sendiri. Akan tetapi, dengan sikap tenang dan syukur, dinamika sesengit apapun pasti ditempatkan pada posisi yang rasional, bukan didorong dengan cara-cara emosional. Begitu pula perbuatan (ke)salah(an), telah memiliki ruang eksplorasi dan pertobatannya. Lalai dan salah kepada Allah, wajib langsung bertobat kepada-Nya. Lalai dan salah kepada sesama manusia, termasuk kepada bangsa, mesti diselesaikan seturut tradisi manusia dan kebangsaan. Sehingga keindahan hidup tetap terpelihara dan terjaga.
Kebajikan Pancasila(is), yakni spirit dan orientasi sila kelima itu, kalau dikaitkan dengan keteladanan Nabi Muhammad Saw, tentu agar elit-elit bangsa dan negara segera memberikan kepastian dalam berkeadilan, khususnya dalam konteks sosial ekonomi dan kebudayaan. Bukan hanya pandai wacana di ruang persidangan dan forum pencitraan. Sehingga akan teraktualisasi sifat-sifat kemurahan hati senyata-nyatanya dalam interaksi sosial bukan sebatas jargon dan gunjingan perdebatan di media massa.
Memberikan kepastian adil dan murah hati secara sosial perekonomian bukan hanya pada golongan atau kelompok tertentu, melainkan benar-benar berdasarkan semangat pemerataan tanpa padang bulu dan status, apalagi suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Sehingga tuntutan berlebih dari sebagian masyarakat yang telah lama ber-Pancasila ini tidak terus melenceng jauh atau kehilangan kendali lalu merusak tatanan penting dalam berbangsa dan bernegara, seperti fenomena akhir-akhir ini yang cenderung lepas dari rasionalitas-kolektif berbangsa.
Tidak hanya itu, kemurahan hati seperti diteladankan Nabi Muhammad, terutama di wilayah sosial ekonomi dan kebudayaan, minimal akan mengurangi social image bahwa Pancasila hanya mekar di dada elit politik dan birokrasi, tapi layu dan mati di kehidupan riil masyarakat Indonesia pada umumnya. Padahal Soekarno telah menegaskan sejak awal bahwa “kita ini satu untuk semua, dan semua untuk satu.†Inilah filosofi ke-tubuh-an; tangan, mata, telinga, kaki, bahu, kepala, dan sebagainya memang punya nama sendiri, tapi pada aspek fungsi dan amanahnya adalah menjaga eksistensi tubuh secara keseluruhan.
Puasa dan Pancasila, dari perspektif kebajikan yang diteladankan Nabi Muhammad, khusus keindahan maupun kebaikan dan cinta, sungguh memiliki kesenyawaan esensial yang tak bisa dinapikan. Puasa Ramadan menganjurkan berbuat kebaikan sebanyak mungkin dan mengeluarkan zakat fitrah adalah bukti nyata bahwa perikemanusiaan dan perikeadilan adalah kunci penting dalam berhamba dan berbangsa sekaligus. Dari sini kebajikan agama dan Pancasila menemukan ruang aktualisasinya.
[***]
Masmuni Mahatma
Dosen STAIN SAS dan Ketua PW GP ANSOR Kep. Bangka Belitung