Hal ini disoal anggota Badan Legislasi DPR Eva Monalisa ketika Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam membahas revisi UU Pemerintahan Aceh di Gedung Nusantara I, Kompleks DPR, Senayan, Kamis, 11 September 2025.
Ia mengurai lewat jalur damai MoU Helsinki pada 2005 silam, lahir UU Pemerintahan Aceh yang memberikan wilayah kekhususan Aceh termasuk dana otonomi khususnya.
“Dana ini bukan sekadar transfer fiskal, ia adalah simbol dari rekonsiliasi sebuah jembatan untuk membangun kepercayaan, menata kembali kehidupan masyarakat Aceh,” ucap Eva.
Namun, ia menilai dana otonomi khusus yang digelontorkan pemerintah puluhan triliun hampir dua dekade ini untuk membangun Aceh, tidak sesuai dengan harapan.
“Nah tujuannya jelas untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pemberdayaan ekonomi, rakyat dan juga penguatan untuk syariat Islamnya. Namun kita juga harus jujur, hasilnya ini belum sebanding dengan harapan,” jelasnya.
“Jadi kalau yang kita lihat, bagi Aceh ini otsus ini jaminan keadilan, bagi Indonesia otosus ini adalah jaminan persatuan. Jadi ada dua kriteria yang berbeda untuk Aceh dan untuk Indonesia sendiri,” sambung dia.
Ia menilai perlu ada sikap tegas dari pemerintah dan meminta rakyat Aceh agar mandiri dari segi ekonomi dengan kata lain tidak terlalu tergantung dengan dana otonomi khusus pemerintah.
“Karena itu mungkin saya kira kita perlu bijak juga menyikapi pasca 2027 ini Aceh tetap mendapatkan ruang fiskal yang cukup, namun sekaligus didorong juga lebih mandiri. Sehingga damai yang kita rawat bersama ini tidak hanya berhenti pada kesepakatan politik, tetapi pada kesejahteraan rakyat,” tutupnya.
BERITA TERKAIT: