“21 Agustus memberi teladan tentang keberanian rakyat, sementara 23 September memberi kerangka kebijakan negara. Jika keduanya digabungkan, maka lahirlah narasi besar, bahwa negara hadir untuk melanjutkan perjuangan rakyat pesisir,” ujar Capt. Hakeng dalam keterangan yang diterima redaksi di Jakarta, Kamis malam, 21 Agustus 2025.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa nelayan pada masa awal republik telah menunjukkan pengorbanan luar biasa. Mereka mempertaruhkan nyawa, merebut kapal, menjaga pelabuhan, dan menguasai laut ketika negara belum memiliki pertahanan resmi.
“Dulu mereka berdiri di garda depan, maka sekarang mereka seharusnya menjadi pihak yang paling merasakan manfaat dari pembangunan maritim,” tegasnya.
Namun, kenyataan menunjukkan hal sebaliknya. Nelayan hari ini justru sering menjadi kelompok paling rentan. Harga solar yang fluktuatif, ketergantungan pada tengkulak, serta minimnya akses teknologi membuat kehidupan mereka kian berat.
Situasi ini semakin sulit dengan dampak perubahan iklim yang membuat pola tangkapan ikan tak menentu. Sementara itu, kapal-kapal besar, baik milik nasional maupun asing, justru lebih leluasa mengambil keuntungan dari laut Indonesia.
Ironi inilah yang menurut Capt. Hakeng mencerminkan paradoks besar, di mana mereka yang hidup paling dekat dengan laut justru berada paling jauh dari kesejahteraan.
Ia menilai Hari Maritim tidak boleh berhenti pada seremoni atau sekadar mengenang heroisme masa lalu. Momentum ini harus menjadi cermin reflektif bagi kebijakan masa kini.
Pemerintah, kata dia, tidak cukup hanya membangun tol laut, pelabuhan besar, atau memperkuat armada pertahanan. Lebih penting adalah menghadirkan kebijakan yang menyentuh kehidupan sehari-hari nelayan kecil. Subsidi bahan bakar yang tepat sasaran, akses kredit yang adil, penguatan koperasi nelayan, hingga jaminan harga ikan yang stabil perlu diwujudkan sebagai langkah konkret.
“Tanpa itu semua, jargon Poros Maritim Dunia hanya akan menjadi retorika tanpa substansi. Laut adalah simbol kehidupan dan keterhubungan, sementara nelayan adalah penjaga pertama simbol itu. Jika mereka (nelayan) terpinggirkan, maka ruh kemaritiman bangsa ikut meredup,” pungkasnya.
BERITA TERKAIT: