Hal itu disampaikan Direktur Merah Putih Stratejik Institut (MPSI), Noor Azhari, saat merespons keluarnya tatib tersebut.
Menurut dia, langkah DPR ini jelas bertentangan dengan prinsip ketatanegaraan yang diatur dalam UUD 1945 dan berpotensi merusak tatanan hukum.
"Pemberhentian pejabat tinggi negara seharusnya merupakan hak prerogatif eksekutif, bukan legislatif. Prinsip
checks and balances yang menjadi pilar utama sistem pemerintahan presidensial akan terganggu jika DPR memiliki kewenangan untuk mencopot pejabat tersebut," jelas Noor Azhari kepada
RMOL, Jumat malam, 7 Februari 2025.
Secara hukum, keberadaan Pasal 228A tersebut bisa dikategorikan sebagai bentuk
ultra vires atau tindakan yang melampaui kewenangan.
Ia mengingatkan bahwa tumpang tindih kewenangan ini akan menciptakan ketidakpastian hukum dan membahayakan stabilitas sistem ketatanegaraan.
“Ini bukan sekadar perubahan aturan, tetapi ancaman terhadap prinsip negara hukum. DPR harus kembali pada tugas utamanya sebagai legislator, bukan malah mengambil peran eksekutif,” ujarnya.
Bagi MPSI, apa yang dilakukan DPR merupakan langkah yang keliru dan berbahaya.
"DPR seharusnya menjalankan fungsi pengawasan, bukan menjadi lembaga eksekutor. Wewenang ini melampaui batas dan bertentangan dengan semangat konstitusi,” tandas Noor Azhari.
BERITA TERKAIT: