Langkah ini dinilai mampu memperkuat upaya pemulihan kerugian negara dari hasil tindak pidana korupsi, terutama dalam kondisi di mana pelaku tidak dapat dijerat melalui jalur pidana konvensional.
Namun demikian, kata Ahli Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga Surabaya, Hardjuno Wiwoho, untuk menerapkan penerapan NCB di Indonesia, memerlukan beberapa perbaikan, baik dari sisi regulasi maupun budaya hukum.
Saat ini, kata dia, sebagian besar perampasan aset diatur dalam kerangka hukum pidana melalui Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Namun, mekanisme ini mensyaratkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebelum aset dapat dirampas.
“Dalam banyak kasus, kondisi seperti meninggalnya pelaku atau kurangnya alat bukti seringkali menghambat proses hukum pidana. Di sinilah NCB menjadi relevan, karena memungkinkan negara untuk merampas aset tanpa harus menunggu pelaku dinyatakan bersalah,” kata Hardjuno kepada wartawan, Selasa, 17 Desember 2024.
Menurutnya, regulasi NCB membutuhkan pendekatan hukum perdata yang terpisah dari hukum pidana.
“Jika digabungkan dengan UU Tipikor, dikhawatirkan akan terjadi tumpang tindih yang menghambat implementasi NCB,” tambahnya.
Meski potensial, Hardjuno menyoroti beberapa tantangan dalam penerapan NCB. Salah satunya adalah resistensi politik dan birokrasi.
Ia juga menekankan perlunya sistem pengawasan yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan.
Termasuk juga, masih kata Hardjuno, pentingnya kerja sama internasional dalam mengimplementasikan NCB.
“Sebagian besar aset hasil korupsi sering disembunyikan di luar negeri. Indonesia perlu memperkuat perjanjian bantuan hukum timbal balik dengan negara-negara lain, terutama yang menjadi surga bagi aset koruptor,” pungkasnya.
BERITA TERKAIT: