Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Berikut Analisis Narasi Ketiga Capres di Debat Pamungkas

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/adityo-nugroho-1'>ADITYO NUGROHO</a>
LAPORAN: ADITYO NUGROHO
  • Senin, 05 Februari 2024, 17:06 WIB
Berikut Analisis Narasi Ketiga Capres di Debat Pamungkas
Ilustrasi Foto/RMOL
rmol news logo Debat Pilpres terakhir mengangkat tema Kesejahteraan Sosial, Kebudayaan, Pendidikan, Teknologi Informasi, Kesehatan, Ketenagakerjaan, Sumber Daya Manusia dan Inklusi, yang diselenggarakan KPU di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Minggu (4/2) menghasilkan analisis narasi untuk ketiga capres.

Pengamat Politik dari FHISIP Universitas Terbuka, Insan Praditya Anugrah menyatakan bahwa manuver saling menjatuhkan jauh berkurang ketimbang debat-debat sebelumnya.

“Debat terakhir cenderung lebih harmonis, saling sepakat untuk saling melengkapi. Meskipun begitu, masing-masing Capres masih  pada sikap masing-masing,” kata Insan kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (5/2).

Lanjut dia, Anies pada posisi kritik dan ingin mengubah, Prabowo optimis melanjutkan transformasi dan Ganjar posisinya dilematis, kerap menyerang pemerintah namun di sisi lain partai pengusungnya PDIP selama ini merupakan pendukung utama yang turut membentuk kebijakan pemerintah.

"Anies Baswedan masih fokus pada kritik atas ketimpangan dan ketidaksetaraan bidang pendidikan dan kesejahteraan. Dia menekankan akan menghapuskan dikotomi Jawa-Luar Jawa, kaya-miskin, desa-kota. Anies juga mengkritik perekonomian Indonesia yang hanya didominasi segelintir orang,” jelasnya.

“Anies dengan narasi membawa cita-cita para pendiri bangsa juga masih konsisten mengkritik struktur kekuasaan yang dinilai sarat kepentingan golongan yang dinilai menghambat kemajuan orang-orang potensial yang tidak memiliki akses. Anies menyertakan peribahasa Jawa tentang perubahan,  sebagai langkah strategis menggaet dukungan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang masih kurang mendukungnya,” tambahnya.

Menurut dia, narasi Anies yang ingin mengubah Jawa-sentrisme menjadi pemerataan ke daerah lain agaknya kontradiktif dengan kritiknya ke IKN dan pembangunan infrastruktur.

“Itu sebetulnya ditujukan untuk menciptakan pemerataan pembangunan," ucap Insan.

Sambungnya, tidak seperti Anies yang fokus kepada kritik, Prabowo melihat arah kebijakan secara optimis melanjutkan yang belum terwujud pada pemerintahan Jokowi.

Menurutnya, Prabowo mengusung ide transformasi bangsa yang berpijak pada perbaikan kualitas hidup dengan mencukupi gizi anak-anak Indonesia sejak dalam kandungan supaya terhindar dari stunting.

“Selain itu, Prabowo juga akan memenuhi kekurangan fasilitas kesehatan, rumah sakit serta defisit dokter dan tenaga kesehatan dengan membuka banyak program studies kedokteran di kampus-kampus. Di bidang pendidikan, Prabowo akan fokus kepada bidang Ilmu pengetahuan  dan teknologi menuju Indonesia emas 2045, Prabowo memakai kata merebut teknologi dan pengetahuan yang selaras dengan program hilirisasi dan pembangunan infrastruktur, serta modernisasi sektor digital yang menjadi agenda ke depan,” ungkap Insan.

“Sayangnya, Prabowo yang selama ini ingin menggaet pemilih milenial dan gen z memilih kata makan gratis lebih penting ketimbang Internet gratis, padahal bagi kaum muda internet sudah menjadi kebutuhan primer. Seharusnya keduanya disandingkan sama pentingnya," lanjutnya menambahkan.

Menurut dia, yang menarik adalah posisi Ganjar Pranowo yang dilematis, pada satu sisi ia menyerang kebijakan pemerintahan saat ini yang akan diteruskan Prabowo, pada sisi lain ia dan partainya adalah bagian tak terpisahkan dari kekuasaan Presiden Jokowi. Sama seperti Prabowo, Ganjar menekankan kebiasaan olahraga dan makan sehat sebagai hal utama.

“Ia (Ganjar) juga menekankan hal yang senada dengan Prabowo yakni pentingnya perbaikan nasib berbagai kalangan mulai dari dosen,guru dan buruh. Namun, ironisnya Ganjar mengkritik aspek-aspek seperti favoritisme, nepotisme dan dominasi ekonomi oleh segelintir orang,” bebernya.

Padahal, lanjut Insan, partainya (PDIP) selama ini merupakan pihak yang turut membangun bersama kekuasaan. Bahkan pada 2014 Jokowi sebagai Presiden harus menuruti kemauan politik PDIP.

“Sehingga harus memberikan posisi setingkat Menko untuk diduduki oleh Puan Maharani yang belum berpengalaman. Hanya karena ia (Puan Maharani) anak dari Ketua Umum PDIP,” ungkapnya lagi.

“Selain itu, kritik Ganjar soal UU Cipta Kerja juga merupakan inkonsistensi antara narasi dengan kebijakan, karena UU tercipta karena didukung penuh oleh partainya yakni PDIP yang memiliki kursi terbesar di parlemen," pungkas dosen ilmu politik dan pemerintahan tersebut. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA