Hal itu disampaikan analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun, menanggapi pernyataan Jokowi soal presiden dan menteri boleh berkampanye dan memihak terhadap pilihan capres-cawapres.
Ubedilah mengatakan, UU 7/2017 tentang Pemilu mengamanatkan beberapa ketentuan yang menekankan perlunya netralitas presiden. Misalnya Pasal 48 Ayat 1 huruf b, menetapkan bahwa KPU harus melaporkan pelaksanaan seluruh tahapan pemilu dan tugas-tugas lainnya kepada DPR dan presiden.
"Artinya, posisi struktural itu (KPU lapor ke presiden) menunjukkan bahwa presiden bukan menjadi bagian yang terlibat dalam proses kontestasi elektoral, agar tidak ada
abuse of power dalam proses pemilihan umum," kata Ubedilah kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (24/1).
Selanjutnya, Pasal 22 Ayat 1 dan 2 UU Pemilu juga mengatur peran presiden dalam membentuk tim seleksi untuk menetapkan calon anggota KPU yang akan diajukan kepada DPR.
Posisi menetapkan tim seleksi KPU itu, kata Ubedilah, merupakan penegasan kewajiban presiden untuk netral dalam seluruh proses pemilu.
"Sangat berbahaya jika posisi presiden tidak netral sejak menyusun tim seleksi anggota KPU, maka seluruh anggota KPU dimungkinkan adalah orangnya presiden. Ini pintu kecurangan sistemik. Pada titik inilah presiden berkewajiban netral," terang Ubedilah.
Menurut Ubedilah, presiden berkewajiban netral karena presiden bukan sekadar jabatan politik, tetapi menurut UUD 1945 melekat pada dirinya sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara.
Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, lanjut Ubedilah, presiden membawahi jutaan aparat penegak hukum, tentara, dan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang ditetapkan oleh UU harus netral.
"Bayangkan jika presiden tidak netral, akan muncul persoalan turunan di bawahnya," tegas Ubedilah.
Untuk itu, pernyataan Jokowi yang menyebut presiden boleh kampanye merupakan cara berpikir yang menempatkan presiden semata-mata sebagai jabatan politik.
"Dia sangat keliru dan bahkan bisa melanggar UUD 1945," terang Ubedilah.
Bahkan, tegas Ubedilah, mencampuradukkan antara jabatan politik dengan kepala negara dan kepala pemerintahan tidak dapat dibenarkan. Hal itu bisa masuk kategori penyalahgunaan wewenang. Dalam Pasal 17 Ayat 2 huruf b UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan sangat jelas diatur agar tidak mencampuradukkan kewenangan.
"Mencampuradukkan wewenang itu sama saja bekerja di luar ruang lingkup bidang atau materi wewenang yang diberikan, dan/atau bertentangan dengan tujuan yang diamanahkan oleh wewenang tersebut. Karenanya Presiden Jokowi sesungguhnya telah nyata-nyata melanggar UU," pungkas Ubedilah.
BERITA TERKAIT: