Hadir sejumlah perwakilan tokoh lintas agama se-Sulawesi Utara dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), MUI, NU, Muhammadiyah, perwakilan Sinode, umat Katolik, umat Hindu, dan Khonghucu.
Bertindak sebagai tuan rumah, istri Gubernur Sulut Olly Dondokambey, Rita Tamuntuan dan Ketua TPD Ganjar-Mahfud, Rio Dondokambey. Acara silaturhami berlangsung dengan hangat dan sederhana.
Dalam sambutannya, Atikoh menyampaikan bahwa Indonesia bisa berdiri karena ada keberagaman. Hal itu bisa dilihat dari lambang negara, yakni Bhineka Tunggal Ika.
Dari semangat keberagaman yang bersatu, Atikoh menyebut bahwa Ganjar-Mahfud tentu menginginkan adanya kesejahteraan yang bisa mencapai ke seluruh masyarakat.
Yang mana, kesejahteraan itu bukan hanya finansial, ekonomi, jasmani atau sosial. Tetapi juga dari rasa keamanan dan kedamaian dalam beribadah.
“Seluruh masyarakat harus mendapatkan haknya dalam beribadah dan dalam mereka mengembangkan diri,” kata Atikoh.
Mantan Wartawati ini juga mengaku kerap ditanya oleh masyarakat, kelak Ganjar terpilih apa yang akan dilakukan ke depan.
Atikoh pun menceritakan soal pengalaman selama 10 tahun mendampingi Ganjar Pranowo sebagai Gubenur Jawa Tengah. Di mana, Ganjar dan dirinya selalu hadir dan bersama dengan kelompok termarjinalkan.
“Anak-anak, usia lanjut, perempuan, kelompok-kelompok marjinal, dan elemen masyarakat yang selama ini suaranya kurang didengar, misalnya difabel, kaum yang termarjinalkan, atau misalnya kalau di Jawa ada kelompok yang masih tradisional (adat),” ungkapnya.
Ibunda Muhammad Zinedine Alam Ganjar ini lantas menganalogikan dan memandang keberagaman dan kebhinekaan sebagai sebuah permainan angklung yang harus dimainkan secara bersama-sama.
“Tetapi bila angklung itu diketuk bersamaan, akan menciptakan harmoni keindahan dan kedamaian. Dan bagaimana agar angklung itu tercipta menjadi sebuah suara yang indah? Tentu dibutuhkan sekali seorang pemimpin dari pemain-pemain angklung,” tutur Atikoh.
Menurut Atikoh, seorang pemimpin harus bisa mengayomi keseluruhan, agar setiap individu bisa hidup bersama, saling toleransi, dan memahami.
“Terkadang toleransi dipandang hanya sempit, kita berbeda. Tapi implementasinya masih harus terus diimprove, ditingkatkan. Toleransi tercipta bila masing-masing paham perbedaan dan bagaimana mengharmonikan itu semua,” jelas Atikoh.
Atikoh juga menyebut, selama 10 tahun sang suami menjabat sebagai Gubenur Jawa Tengah, tidak pernah ada permasalahan soal pembangunan rumah ibadah.
“Puji syukur di Jawa Tengah itu tidak pernah terjadi seperti itu. Tidak pernah ada kejadian di mana ketika ada masyarakat ingin dirikan tempat ibadah itu dipersulit. Karena pemimpinnya berani di depan sendiri untuk memperjuangkan hak-hak setiap warga masyarakat, itu namanya toleransi,” demikian Atikoh.
BERITA TERKAIT: