Terlebih, Airlangga mengatakan, bahan bakar nabati ini tidak hanya dari produk minyak sawit atau CPO seperti biodiesel, bioavtur, dan HVO, tetapi juga produk non-CPO seperti bioetanol.
Dikatakan pengamat energi, Muhammad Badaruddin, mengatakan, pengembangan bahan bakar minyak ramah lingkungan yang disampaikan Airlangga Hartarto sejatinya harus diimplementasikan sesegera mungkin.
Mengingat, kata dia, kualitas udara di Jakarta yang terjadi belakangan ini kembali berada pada titik terburuk dengan status tidak sehat.
Berdasarkan data IQAir, sejak awal November, Indeks Kualitas Udara (AQI) berada pada kisaran 120-169. Padahal, tingkat udara sehat berada pada tingkat AQI 0-50.
"Adapun polusi udara terburuk di dunia hari ini berada di Kolkata India (US AQI 303), Dhaka Bangladesh (US AQI 223), Karachi Pakistan (US AQI 198), Ulaanbatar Mongolia (US AQI 169), dan Jakarta Indonesia (US AQI 168)," ungkap Badar kepada wartawan di Jakarta, Rabu (13/12).
Menurut Badar, kerugian yang muncul dari buruknya kualitas udara di Jakarta sangat kompleks. Dari sisi ekonomi, di tahun 2023, perhitungan IQAir diperkirakan memunculkan kerugian sebesar 3,2 miliar Dolar AS atau setara Rp50 triliun.
"Tidak hanya kerugian ekonomi, tapi juga ancaman kematian. Berdasarkan perhitungan IQAir, di tahun 2023, polusi udara di Jakarta telah menyebabkan 12.000 kematian," tuturnya.
Dosen di Universitas Bakrie ini menambahkan, di antara faktor penyebab polusi akut di Jakarta adalah polusi yang disebabkan oleh kendaraan bermotor.
Berdasarkan catatan Kemenko Marves, secara fundamental, polusi udara datang dari pembakaran bahan bakar kendaraan yang tidak sempurna. Tercatat, ada sekitar 40-an juta kendaraan bermotor yang lalu lalang di DKI Jakarta.
"Begitu pula dengan studi yang dilakukan oleh Jakarta Rendah Emisi mengonfirmasi bahwa sektor transportasi menyumbang 67 persen emisi particulate matter (PM) 2,5," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: