Forum diskusi antar ulama dengan mengambil referensi dari kitab-kitab klasik (kitab kuning) dan kontemporer tersebut menghasilkan Resolusi Jihad Kebangsaan Memilih Pemimpin Negeri. Di antara isinya yaitu, calon pemimpin negara tak boleh dan tidak pernah terlibat dalam kasus pelanggaran HAM serta tidak terlibat dalam politisasi agama untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Ketua LBM PWNU DKI Jakarta KH. Mukti Ali Qusyairin mengatakan, Bahtsul Masail diadakan untuk merespons isu-isu aktual dan kontekstual. Menurutnya, isu kepemimpinan sangat relevan dibahas saat ini untuk memberikan edukasi kepada masyarakat agar mempunyai acuan dalam memilih pemimpin yang dapat membawa kemaslahatan bagi bangsa dan negara, serta berpihak terhadap kepentingan rakyat.
“Mendekati Pemilu 2024 isu kepemimpinan perlu mendapatkan perhatian semua pihak. Secara khusus LBM PWNU DKI Jakarta mengadakan diskusi ini untuk melihat bagaimana pandangan agama mengenai kriteria pemimpin agar masyarakat memiliki pedoman dalam memilih pemimpin yang ideal untuk negeri ini,” Kiai Mukti dikutip Minggu (22/10).
Kiai Mukti menambahkan, maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat) yang menjadi bahasan dalam diskusi Bahtsul Masail ini dijadikan sebagai standar dan nilai umum dari Islam, untuk menilai siapa di antara seluruh calon pemimpin yang mengemuka sejauh ini yang paling layak memimpin negeri ini dengan rekam jejak yang baik.
“Kita tahu maqashid syariah terdiri dari sejumlah hak dasar yaitu: hifzhud din (menjaga hak kebebasan beragama), hifzhun nafs (menjaga hak hidup), hifzhul 'aql (menjaga hak berpikir dan berpendapat), hifzhul 'irdh (menjaga kehormatan manusia), hifzhun nasl (menjaga keturunan dan ketahanan keluarga), dan hifzhul mal (menjaga harta dan pemenuhan ekonomi). Enam hak dasar ini bisa menjadi standar dan acuan bagi masyarakat untuk memilih sosok pemimpin yang dianggap paling mampu memenuhi hak-hak tersebut," kata Kiai Mukti.
Pengasuh Pondok Pesanten Fashihuddin Depok, KH. Asnawi Ridwan, yang hadir sebagai Perumus Bahstul Masail mengatakan, politik dan kepemimpinan merupakan masalah zhanniy (hipotetis) dan ijtihadi, bukan merupakan salah satu rukun agama yang qath'iy (tetap-pasti). Karena itu, kriteria pemimpin yang akan dipilih bisa didiskusikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi.
“Secara mendasar Islam tidak melihat pemimpin dari sisi agama dan jenis kelaminnya semata. Selama dia punya kapasitas dan mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat, mampu menegakkan supremasi hukum, karena negara ini adalah negara hukum, maka dia layak menjadi pemimpin,” kata Kiai Asnawi.
Sedangkan Pengasuh Pondok Pesantren Az-Ziyadah Jakarta, KH. Muhajir Zayadi dalam sambutannya mengatakan, Bahtsul Masail merupakan sebuah kegiatan olah pikir yang lahir dari diskusi-diskusi santri di pondok pesantren di masa lampau.
"Oleh karena itu, sudah sepatutnya lebih banyak diadakan di pesantren. Saya berterima kasih kepada LBM PWNU DKI Jakarta yang telah berkenan mengadakan kegiatan Bahtsul Masail di pesantren ini, lebih-lebih dengan tema memilih pemimpin menjelang perhelatan akbar Pemilu 2024,” kata Kiai Muhadjir.
BERITA TERKAIT: