Namun demikian, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira sangsi delapan poin tersebut bisa dijalankan oleh pemerintah. Khususnya setelah pemimpin negeri ini berganti di tahun 2024 nanti.
“Bisa berubah. Karena, ini bukan kontrak, melainkan hanya nota kesepahaman. Bisa tidak dijalankan oleh presiden 2024, karena tidak mengikat,” kata Bhima kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (30/7).
Lebih lanjut, Bhima menangkap keanehan dalam pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan Presiden Xi Jinping. Seolah ada harapan besar dari Jokowi untuk China agar mau berinvestasi dalam megaproyek pembangunan infrastruktur ibukota negara (IKN) baru di Kalimantan Timur.
“IKN ini kan objek vital negara, tapi kenapa mengharapkan investasi asing, terutama dari China? Lagipula perjanjian tadi tidak mengikat. Masih punya ruang untuk diubah,” demikian Bhima Yudhistira.
Dalam pertemuan Jokowi dan XI Jinping lahir delapan kesepakatan, antara lain:
1. Protokol tentang persyaratan pemeriksaan dan karantina untuk ekspor serbuk konjac dari Indonesia ke China
2. Protokol tentang persyaratan phytosanitary untuk ekspor tabasheer dari Indonesia ke China
3. Rencana aksi kerja sama bidang kesehatan
4. Nota kesepahaman tentang pusat penelitian dan pengembangan bersama
5. Nota kesepahaman tentang kerja sama perencanaan berbagi pengetahuan dan pengalaman terkait pemindahan ibu kota baru Indonesia
6. Nota kesepahaman tentang peningkatan kerja sama Indonesia-China "two countries, twin parks”
7. Nota kesepahaman tentang pendidikan bahasa China
8. Nota kesepahaman tentang kerja sama ekonomi dan teknis.
BERITA TERKAIT: