Hal tersebut disampaikan Akademisi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Ahsanul Minan, dalam diskusi bertajuk "Penguatan Sumber Daya Penyelenggara Pemilu dalam Pelaksanaan Demokrasi 2024" di Kantor KPU RI, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (18/11).
Dia menjelaskan, berdasarkan amatan yang dilakukannya sejak pelaksanaan Pemilu 2009 silam, khususnya ketika penentuan calon terpilih beradasarkan hasil perhitungan suara terbanyak, saat itu sudah ada pergeseran model politik uang.
"Sejak 2009 politik uangnya beralih ke membayar penyelenggara, terutama di level bawah, terutama KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara)," ujar Minan.
Pergeseran pola politik uang yang ditemukan Minan dari kerja-kerja pegiat pemilu di pelaksanaan pemilu tersebut, dianggapnya sebagai salah satu cara yang dilirik pemain politik karena berbiaya murah.
"Itu pola money politiknya kemudian mulai bergeser bukan ke pemilih, tapi lebih ke penyelengara harganya lebih murah dan hasilnya lebih pasti," tutur Minan.
"Kalau ke pemilih kan seperti menebar garam ke lautan. Pemilih kan tergantung siapa yang paling banyak atau yang terakhir kasih. Atau mungkin tidak memilih sama sekali karena ini semuanya (dianggap) brengsek," sambungnya.
Oleh karena itu, dia menyarankan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk selektif menyeleksi anggota badan adhoc yang di antaranya meliputi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemilihan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
"Jadi ini menurut saya satu hal yang sangat penting untuk dipikirkan dan diantisipasi, supaya nanti bagaimana KPU bisa memilih PPK, PPS yang punya daya tahan fisik yang baik dan integritas yang tinggi," harapnya.
"Karena tingkat kerawanannya sangat tinggi sekali di perhitungan dan rekap (hasil perhitungan suara pemilu)," demikian Minan menambahkan.
BERITA TERKAIT: