Data KPK, Butuh Rp 20 M Untuk Maju Bupati/Walikota, Gubernur Rp 100 M

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/jamaludin-akmal-1'>JAMALUDIN AKMAL</a>
LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL
  • Kamis, 26 November 2020, 16:53 WIB
Data KPK, Butuh Rp 20 M Untuk Maju Bupati/Walikota, Gubernur Rp 100 M
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar/Repro
rmol news logo Biaya kontestasi Pilkada yang tinggi bagi para calon kepala daerah menjadi pintu masuk untuk melakukan tindak pidana korupsi.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lili Pintauli Siregar mengatakan, salah satu masalah Pilkada yang menjadi perhatian KPK adalah potensi munculnya biaya tinggi dalam kontestasi.

Karena kata Lili, berdasarkan kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), biaya yang dibutuhkan para calon kepala daerah sangat fantastis nilainya.

"Untuk menjadi Bupati atau menjadi Walikota di butuhkan biaya sebesar Rp 20-30 miliar. Dan untuk menjadi calon Gubernur itu dibutuhkan biaya sebesar Rp 20-100 miliar," ujar Lili Pintauli Siregar di acara Webinar Pembekalan Pilkada Berintegritas Cakada Provinsi Sumbar, Bali Dan Papua, seperti dikutip Kantor Berita Politik RMOL di akun Youtube KanalKPK, Kamis (26/11).

Biaya yang tinggi tersebut kata Lili, berpotensi memunculkan benturan kepentingan saat terpilih menjadi kepala daerah.

"Dan ini memang tentu saja punya potensi pada benturan kepentingan yang ada dalam pendanaan Pilkada tentu saja dilihat," kata Lili.

Lili pun membeberkan alasan para calon kepala daerah membutuhkan biaya yang tinggi dalam kontestasi politik ini.

"Bagaimana pengeluaran dana Pilkada itu melampaui harta kasnya, dan kemudian biaya kampanye aktual itu ternyata lebih tinggi dari yang dilaporkan di LPSDK. Ada teman-teman menyampaikan bahwa memasang baliho sangat mudah, ternyata yang mahal adalah menjaga baliho agar tidak diruntuhkan orang," ungkap Lili.

Selain itu sambung Lili, para kepala daerah juga membutuhkan biaya tinggi karena banyaknya saksi yang dikerahkan untuk menjadi saksi di setiap TPS.

Pengeluaran biaya kampanya kata Lili, kerap kali melebihi batasan dana yang telah ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Bahkan, adanya donatur yang mengharapkan balasan saat calon kepala daerah itu menjabat.

Lili juga menjelaskan, terkait dana kampanye yang terjadi dana yang dilaporkan tidak sesuai dengan yang diterima oleh setiap Cakada.

"Jadi ada istilah, tidak ada makan siang yang gratis. Memang ini dikhawatirkan tentu saja calon kepala daerah akan membalas jasa tersebut," pungkas Lili.rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA