Menurutnya, penurunan kepercayaan itu karena KPU kerap lamban dalam merespons isu-isu negatif yang ada di masyarakat.
Sigit mengakui di bawah kepemimpinan Arief Budiman, respons KPU memang cukup baik dalam menanggapi beberapa persoalan teknikal kerja penyelenggaraan Pemilu dengan menerbitkan PKPU dan lain sebagainya, namun Komisioner KPU katanya lamban dalam merespon isu-isu negatif.
Seperti, isu tentang orang gila boleh memilih, ketidaknetralan KPU terkait penomoran capres dan cawapres, kotak kardus, hingga surat suara tercoblos di tujuh kontainer.
"Kalaupun teknikal tadi berhasil menghandle, itu menjadi useless karena orang tidak percaya dengan kemampuan KPU mengelola itu akibat tekanan politik ini," kata Sigit dalam diskusi bertajuk "Menuju Pemilu Bermutu" di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Sabtu (5/1).
Namun, akibat dari lambannya respons KPU tersebut, tingkat kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu menurun drastis.
Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) ini mencatat, terakhir survei LSI dan ICW, tingkat kepercayaan terhadap KPU di bawah 70 persen, padahal ketika awal dilantik pada April 2017 masih 80 persen.
"Turunnya jauh sekali," ujar Sigit.
[rus]
BERITA TERKAIT: