"Benar bahwa terjadi pemotongan salib makam. Status makam pada saat terjadi pemakaman, sejauh pelacakan tim di lapangan, adalah makam umum," kata Ketua Komisi Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KKPKC) Kevikepan DIY, Ag Sumaryoto, dalam keterangannya, Rabu (19/12).
Diungkapkan Sumaryoto, berdasarkan pengecekan di lapangan, peristiwa intoleransi yang dialami almarhum Slamet dan keluarga bukan yang pertama terjadi.
"Tim mencatat ada dua peristiwa kekerasan lain yang terjadi. Peristiwa sebelum ini sudah sampai pada bentuk kekerasan fisik," katanya.
Slamet dan istri, diceritakan dia, sangat baik, diterima dan aktif di kampung Purbayan. Almarhum adalah pelatih koor, sementara istrinya adalah ketua organisasi perempuan. Karenanya muncul spontanitas dukungan warga kampung pada saat persiapan dan penyemayaman jenazah berjalan dengan baik.
"Interaksi warga dengan keluarga sangat baik, tetapi ada sekelompok orang pendatang dengan dukungan luar yang memberi tekanan fisik dan psikis secara langsung maupun tidak langsung melalui sebagian warga," jelasnya.
Sumaryoto juga meluruskan soal surat kesepakatan masyarakat dengan pihak keluarga terkait pemotongan salib pada nisan Slamet. Surat pernyataan yang beredar awalnya diterima istri almarhum dalam bentuk print jadi, dibawa oleh tujuh orang dari pihak kelurahan, Polsek, Koramil, dan pengurus kampung. Surat ditandatangani istri almarhum.
"Penjelasan yang diberikan kepada istri almarhum adalah untuk mengatasi isu yang berkembang luas di media sosial," terang dia.
Atas persoalan ini, KKPKC Kevikepan DIY menegaskan sikap kepada aparat keamanan dan pemerintah. Mereka menyatakan peristiwa yang dialami almarhum dan keluarga adalah pelanggaran terhadap konstitusi UUD 1945 dan prinsip dasar hidup berbangsa Pancasila sebagaimana termuat di dalam Pembukaan UUD 1945. KKPKC Kevikepan meminta pemerintah dan aparat penegak hukum melindungi dan membela hak-hak asasi manusia dan hak-hak dasar warga negara.
"(Juga) meminta kepada aparat kepolisian untuk melindungi keluarga korban dari segala bentuk tekanan dan ancaman fisik maupun psikis sehingga tetap dapat hidup berdampingan dengan baik dengan warga yang lain," demikian kata Ag Sumaryoto.
[dem]
BERITA TERKAIT: