Kenapa harus koalisi partai? Karena tidak ada satupun partai yang bisa mengusung satu paslon tanpa berkoalisi. Syarat pengajuan, yang statusnya saat ini sedang diajukan gugatan kaji ulangnya ke Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa bahwa paslon hanya bisa diajukan minimal 20 persen pemilik kursi DPR RI atau 25 persen dari total suara pemilih hasil Pemilu Legislatif 2014. Artinya mungkin bisa hingga empat paslon yang diusung oleh koalisi atau sekurang-kurangnya dua paslon jika mengacu ke UU yang sama.
Berkoalisi tentu saja bisa dengan berbagai cara. Bisa dengan berbagi paket komitmen. Misalnya oartai A kadernya jadi capres, maka Partai B kadernya menjadi cawapresnya. Bisa juga dengan Partai C yang lebih kecil ikut bergabung dan dapat komitmen alokasi jabatan menteri nantinya jika paslon usungan mereka menang. Atau bisa juga dengan mengancam Partai D yang kader utamanya berkasus hukum jika tak ikut mendukung, maka kasusnya tersebut akan dibuka. Ini tentu tidak boleh terjadi, tapi itulah fakta hari ini. Atau mungkin juga Partai E yang dengan sukarela bergabung dan pasrah dibagi komitmen apapun, yang penting diajak dalam satu perahu besar. Ini juga realitas dalam politik Indonesia hari ini.
Jadi, itulah realitas politik kita hari ini. Politik yang sangat bermental kamar dagang. Membangun kekuasaan dengan koalisi yang cenderung mengedepankan tawar menawar. Yang penting bagi mereka bagaimana bisa mendapat kemenangan posisi. Ini juga yang menyebabkan publik kerap berujar, politik itu kotor. Padahal yang kotor itu para pemainnya. Lalu dimana dan kapan mereka menyerap aspirasi rakyat? Maaf, nyatanya itu hanya materi di buku dan forum diskusi, bukan konten realita. Parpol yang sejatinya dibentuk untuk memperjuangkan aspirasi membangun bangsa, hari ini tumbuh hanya sebatas menjadi alat perjuangan aspirasi para tokoh dan kadernya.
Kembali ke judul, lalu bagaimana memilih yang pantas untuk Capres dan Cawapres? Kemungkinannya argumentasi pemilihan dan kriteria utamanya hanya ada tiga. Pertama pantas menurut koalisi partai. Kedua pantas menurut publik atau rakyat banyak. Ketiga pantas menurut koalisi partai dan memenuhi aspirasi publik. Opini yang berkelahi saat ini hanya dua, yaitu yang pertama dan kedua. Para partai sibuk dengan opsi pertama, sedangkan rakyat sibuk dengan pilihan kedua. Padahal seharusnya, jika pesta demokrasi adalah pesta rakyat dan partai politik Indonesia, maka seharusnya pilihan ketiga yang terjadi. Yaitu paslon haruslah kader terbaik dari koalisi partai dan itu mempertimbangkan aspirasi rakyat banyak, dalam hal ini konstituen masing-masing partai.
Nyatanya yang dominan saat ini dalam wacana parpol adalah orang yang itu-itu juga. Koalisi pemerintah sibuk menonjolkan Jokowi, petahana yang katanya berprestasi. Anehnya, bukannya sibuk menampilkan prestasinya (kalau memang ada), Jokowi malah lebih sibuk membuat pencitraan sambil menutupi kegagalan-kegagalannya dengan menghadiri berbagai forum dukungan yang sepi antusias rakyat.
Sebaliknya hal yang sama terjadi. Motor gerakan oposisi terus ingin menghadirkan Prabowo sebagai figur yang layak mengalahkan Jokowi, padahal sudah terbukti Prabowo kalah melawan Jokowi di Pemilu Presiden 2014. Kenapa yakin kali Prabowo akan memang? Apakah karena standar kualitas lawan (baca: Jokowi) yang begitu rendah saat ini di mata publik? Publik patut bertanya, ini sekedar mengalahkan Jokowi atau isu yang lebih besar yakni mengalahkan Jokowi dan membangun negara menjadi lebih baik?
Paslon Anies Baswedan-Sandiaga Uno untuk Pilkada Jakarta 2017, sebenarnya sudah menjadi contoh nyata kecerdikan koalisi oposisi. Walau dilakukan di jelang akhir masa pendaftaran. Tapi merupakan paslon solutif. Menjawab kebutuhan rakyat Jakarta dan kepentingan partai tersalurkan. Berbeda dengan di Jawa Barat, hasrat partai lebih dominan daripada aspirasi publik. Begitupun, ternyata publik masih membela paslon Asyik walau tak begitu puas. Itu kenapa di awal elektabilitasnya begitu rendah, namun luar biasa di hari pemilihan. Semua semata karena publik masih bernalar sehat untuk melawan kelompok penguasa yang telah membuat kecewa. Harusnya fenomena Jawa Barat ini jangan berulang untuk Pemilu Presiden 2019. Jawablah lebih dahulu aspirasi rakyat, lalu carilah solusinya apakah itu kader dari dalam atau dari luar. Parpol oposisi, jernihlah bersikap!
Harapan publik tentu tersandarkan kepada Gerindra, PKS, PAN dan PBB. Keempat partai ini perlu berkepala dingin dan terus menyerap aspirasi publik. Jangan sibuk dan silau dengan ingin memaksakan kader yang elektabilitasnya tidak memadai. Kita tidak tahu apa yang ada dibenak SBY yang begitu kokoh ingin menampilkan AHY yang nyata-nyata masih belum siap dan belum berterima di hati rakyat. Di Jakarta saja AHY dipandang tak layak, apalagi untuk skala nasional. Bisa jadi, Demokrat bukan melihat kepentingan Indonesia-nya, tapi lebih melihat kualitas petahana yang jika dibandingkan AHY, nyatanya tidak juga jauh lebih bagus dan mumpuni. Begitupun, apapun itu, tentu menjadi hak Demokrat untuk bersikap demikian.
Hal yang menarik adalah munculnya Partai Berkarya yang nampaknya juga ingin hadir memosisikan diri sebagai pihak oposisi yang siap berdialog dengan Gerindra, PKS dan PAN. Jika ini memang sebuah sikap yang tegas dan fokus, maka koalisi Gerindra, PKS, PAN, PBB, Berkarya akan menjadi sangat dahsyat. Dan tentunya akan semakin gegap gempita jika dilengkapi Partai Demokrat. Kombinasi enam partai yang siap untuk mengambilalih kekuasaan, sesuai dengan aspirasi rakyat banyak.
Akankah terjadi? Mari kita tunggu bersama akankah enam partai ini akan berkepala dingin menyelesaikan persiapan mereka menghadapi Pemilu Presiden 2019 atau akan terus terjebak menonjolkan diri, lalu kalah, lalu jadi pecundang lima tahun ke depan. Rakyat menanti sikap kalian
! [***]Penulis adalah Direktur Eksekutif Strategi Indonesia
BERITA TERKAIT: