"Dan juga telah menista proses demokrasi yang sedang berjalan kondusif di Jawa Barat," ujar Kordinator Aliansi Lembaga Analisis Kebijakan dan Anggaran (Alaska), Adri Zulpianto, dalam keterangan persnya, Selasa (19/6).
Alaska menilai pelantikan itu bukan hanya melanggar UU, tapi juga melupakan sejarah kisruhnya Pilkada DKI Jakarta tahun lalu. Iriawan sebagai Kapolda Metro Jaya gagal mendamaikan suasana Pilkada yang damai. Kegagalan itu diperkuat dengan mutasi Iriawan dari posisi Kapolda menjadi Asisten Kapolri Bidang Operasi tidak lama setelah Pilkada Jakarta usai. Mutasi Iriawan juga diduga berkaitan kasus penyerangan kepada Novel Baswedan yang hingga saat ini masih misterius.
Setelah menjadi Asisten Kapolri Bidang Operasi, Iriawan diusulkan menjadi Penjabat Gubernur Jabar, namun tidak berhasil karena berstatus polisi aktif. Anehnya, penolakan itu membawa Iriawan dimutasi ke Lemhannas sebagai Sekretaris Utama. Dari Lemhannas, Iriawan benar-benar menjadi Penjabat Gubernur.
"Pelantikan yang terkesan memaksa dan terburu-buru itu menunjukkan bahwa ada kepanikan dalam rezim Jokowi, takut mengalami kekalahan yang dialami di Jakarta terulang di Pilkada Jabar," kata Adri.
Tidak ada satu hal yang membuat pengangkatan Iriawan betul-betul mendesak. Sampai saat ini Iriawan pun masih berstatus sama, yaitu polisi aktif.
"Kecuali ada urgensi Mendagri untuk menghidupkan kembali Dwi Fungsi Polri," ucap Adri.
Indikasi Mendagri, Tjahjo Kumolo, yang ingin menghidupkan Dwi Fungsi Polri terendus sejak awal 2018, saat Pilkada Serentak akan dilaksanakan. Saat itu, lahir Permendagri 1/2018 yang membuka peluang polisi aktif menjadi penjabat gubernurz. Tuntutan rakyat untuk menghapus Permendagri 1/2018 tidak digubris oleh Kemendagri.
Alaska menilai pelantikan Iriawan sebagai otoriter, tiran dan seperti mengorek luka lama yang terlalu menyakitkan dalam sejarah kelam Indonesia, yaitu campur tangan angkatan bersenjata dalam urusan politik. Seperti Orde Baru, pemerintah secara otoriter tetap menjalankan keinginannya tanpa melihat aturan-aturan yang berlaku.
"Pelantikan Iriawan yang masih polisi aktif sebagai penjabat gubernur oleh Tjahjo Kumolo memicu api konflik yang baru, yang membawa bawa polisi masuk dalam ranah politik. Atau ini namanya Neo Dwi Fungsi Polri menggantikan Dwi Fungsi ABRI," terangnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: