Belakangan ditulis oleh Derek Manangka, bahwa katak di istana piaraan Presiden itu banyak yang dimakan ular berbisa. Kok? Derek tak menjelaskan mengapa di Istana banyak ular berbisa. Tapi muncul memenya berupa ucapan "ikut belasungkawa atas matinya kodok-kodok di istana".
Menurut saya, semua bahasa tentang kodok di istana telah berubah menjadi "bahasa gajah" (bahasa idiom politik) yang memberi pengertian umum.
Hewan kecebong adalah cerminan dari perilaku masyarakat pendukung Presiden Jokowi. Yaitu: kecebong! Jadi ada tenornya. Yakni antara telur katak hingga menjadi katak dewasa. Masa yang singkat. Masa inkubasi telur.
Telur-telur ini kemudian menetas menjadi kecebong. Matanya buta, bergerumbul untuk (i) cari perlindungan, (ii) butuh makan, (iii) butuh logistik, sebelum jadi katak dewasa (iv) butuh power/ kekuasaan. Empat perilaku itu melekat pada Kecebong yang lalu diperolehnya dari pemiaranya.
Karena itu kecebong tak boleh berpikir. Ini menimbulkan idiom baru, kecebong IQ nya rendah. Meminjam istilah Rocky Gerung, IQ nya 200 untuk sekolam kecebong. Itupun harus didorong dengan meth (sabu-sabu) supaya adrenalin otak bekerja, agar bisa mikir. Maka muncul idiom Bong 200 Sekolam. Agaknya karena pemilih Presiden Jokowi berpendidikan rendah dalam bahasa polling. Tapi saya belum menemukan bagaimana terbentuknya idiom "Kampret" yang digunakan Kecebong. Kampret bahasa yang digunakan masyarakat Medan Sumatera Utara, adalah makian yang tidak bermakna makian. Misalnya, "Kampret kau wak".
Menarik memperhatikan proses lahirnya sosiologi populer ini. Jelas mengandung demarkasi, memuat stigmatik, mass critical, terpenting adalah proses pembentuk perilaku kebudayaan baru dalam merespon neo demokrasi Pancasila.
[***]
*Penulis adalah Anggota Komisi Hukum DPR 2004-2009, Advokat Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama, PBNU.
BERITA TERKAIT: