Puasa sebagaimana diperintahkan QS Al-Baqoroh [2] ayat 183 di atas merupakan bagian integral dan tak terpisahkan dari tujuan penciptaan manusia sebagai khalifatullah (QS Al-Baqoroh [2] : 30) dan manusia sebagai 'abdullah (QS. Adz-Dzariyaat [51]: 56)
Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menciptakan khalifah di muka bumi.†(QS Al-Baqoroh [2] : 30)
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.†(QS. Adz-Dzariyaat [51]: 56) Agama Islam memposisikan manusia dalam segala sisi kemanusiannya sebagai khalifatullah dan sebagai 'abdullah secara bersamaan. Ketika manusia mengerjakan aktifitas kehidupannya maka fungsi-fungsi yang terkait dengan status khalifatullah dan fungsi-fungsi yang terkait dengan status 'abdullah bergerak seiring sejalan.
Ketika seorang mukmin tidur, ketika seorang mukmin bangun, ketika seorang mukmin bekerja sesuai profesinya, ketika seorang mukmin melaksanakan ibadah ritual, bahkan ketika seorang mukmin (maaf) ke kamar mandi, sesungguhnya ia sedang melaksanakan fungsinya sebagai khalifatullah dan sebagai 'abdullah secara seiring sejalan.
Manusia Sebagai Khalifatullah
Manusia sebagai khalifahtullah adalah manusia sebagai makhluk Allah yang mendapat kepercayaan untuk menjalankan kehendak Allah dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya di muka bumi atas nama Allah SWT. Artinya, manusia diberi kewenangan penuh oleh Allah SWT untuk mengelola bumi beserta isinya.
Dan ketika manusia menjalankan tugas kekhalifahan tersebut sepenuhnya sesuai dengan kehendak-Nya maka seluruh aktifitas manusia tersebut juga bernilai ibadah di hadapan Allah SWT.
Seorang guru yang sedang mengajar, ketika aktivitasnya tersebut disandarkan pada keikhlasan melaksanakan tugas sebagai khalifatullah maka aktivitas mengajar merupakan ibadah. Seorang dokter yang melaksanakan profesi sebagai dokter dengan menyandarkannya sebagai khalifatullah maka seluruh aktivitas sebagai dokter bernilai ibadah. Ketika seorang suami mencari nafkah dan menyandarkan aktivitas mencari nafkah itu pada tugas sebagai khalifatullah maka mencari rezeki itu bernilai ibadah.
Begitu juga dengan politisi, ketika aktivitas politik disandarkan pada keikhlasan sebagai khalifatullah maka seluruh aktivitas politik seorang politisi adalah bernilai ibadah di hadapan Allah SWT. Begitu juga dengan pelajar yang belajar, pedagang yang berdagang, penulis yang menulis, birokrat yang menjadi alat negara, dan lain sebagainya, semua bernilai ibadah yang dapat diganjar titel muttaqien, dan kelak diganjar surga, jika semua aktivitas tersebut dilekatkan dan dimaknai sebagai aktivitas dalam konsepsi manusia sebagai khalifatullah.
Puncak prestasi dari aktivitas manusia sebagai khalifatullah adalah terbentuknya peradaban dunia yang sesuai dengan nilai-nilai yang diinginkan Allah SWT, sebagian kalangan menyebutnya sebagai peradaban profetik.
Manusia Sebagai 'Abdullah
Lahirnya peradaban profetik tidak bisa lahir dan hadir dikehidupan nyata dari hanya memaksimalkan peran manusia sebagai khalifatullah. Peradaban profetik hanya bisa dilahirkan ketika manusia mampu mengintegrasikan status sebagai khalifatullah dengan status sebagai 'abdullah dalam kehidupan nyata secara bersamaan seiring sejalan.
Manusia tidak bisa meninggalkan sholat dengan alasan apapun, manusia harus membayar zakat, manusia tak boleh melalaikan ibadah puasa, manusia yang mampu harus berhaji, dan lain sebagainya. Manusia harus melaksanakan seluruh ibadah yang diwajibkan Allah SWT kepadanya karena memang untuk itu manusia diciptakan, untuk menjadi 'abdullah, untuk menjadi abdi Allah SWT, di samping sebagai khalifatullah.
Manusia Rahmatan Lil'alamin
Ketika manusia mampu secara optimal mengintegrasikan fungsi sebagai khalifatullah dan fungsi sebagai 'abdullah dalam setiap gerak langkah dan setiap hembusan nafasnya, maka saat itu manusia tersebut akan menjadi rahmat bagi orang sekitarnya, rahmat bagi alam sekitarnya, menjadi rahmatan lil 'alamin, rahmat bagi seluruh alam.
Ketika khalifatullah dan 'abdullah telah menyatu dalam diri seorang insan, maka insan itu tidak akan merusak alam. Ketika halifatullah dan 'abdullah telah menyatu dalam diri seorang insan, maka insan itu tidak akan mencelakai makhluk manapun, apalagi mencelakai manusia, apapun Suku, Agama, Ras, dan Golongan manusia itu.
Ketika khalifatullah dan 'abdullah menyatu dalam diri seorang insan, maka insan itu tidak akan korupsi, tidak akan semena-mena, tidak akan membiarkan tetangganya kelaparan, tidak akan mengkhianati kepercayaan, tidak akan dusta, tidak akan bersumpah palsu, dan tidak akan memenuhi rongga dadanya dengan amarah dan kebencian yang membabi buta, dan tidak akan lainnya yang membawa kehancuran kemanusiaan.
Puasa Ramadhan Khalifatullah dan 'AbdullahPuasa Ramadhan sebulan penuh dengan semua keutamaan yang ada dalam bulan suci tersebut, plus dibelenggunya syetan sebulan penuh dalam neraka, plus dibukanya pintu rahmat seluas-luasnya, tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memberi peluang manusia beriman mengembalilan dirinya pada fitrah penciptaannya, mengembalikan dirinya pada fitrah dan kesucian sebagaimana fitrah dan kesucian saat kelahirannya.
Titel sebagai manusia Muttaqien, yang menunjukan telah kembalinya insan tersebut pada fitrah dan kesucian, titel yang disematkan Allah SWT saat idul fitri, sesungguhnya adalah status yang menunjukan kesiapan dan kemampuan seorang insan untuk melahirkan sebuah kehidupan yang penuh rahmat bagi seluruh isi alam. Kehidupan yang penuh dengan kedamaian dan silaturrahmi. Kehidupan yang mampu saling bekerjasama secara arif, bijaksana dan saling menghormati dengan siapapun sebagai khalifatullah. Kehidupan yang digambatkan oleh budaya Jawa sebagai kehidupan yang
gemah ripah loh jinawi.
Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan, dan mohon maaf lahir bathin.
[***]Penulis adalah redaktur khusus Kantor Berita Politik RMOL, Sekjen Community for Press and Democracy Empowerment (PressCode), Ketua Panpel Tekad Suci untuk Indonesia.
BERITA TERKAIT: