Pramono mengatakan itu dalam rangka Hari Pers Nasional Tahun 2017 (Kamis, 9/2). Menurut dia, literasi media penting untuk menghadapi informasi-informasi penuh kebohongan, kemarahan, sarkasme, atau
hoax. Saat ini, masyarakat masih dapat dengan mudah meneruskan dan mempercayai informasi-informasi semacam itu.
"Harus ada literasi media, ada yang namanya swa-sensor. Perlu masyarakat juga memahami tentang berita itu benar atau salah, berita itu mempunyai makna atau tidak," tegas Pramono Anung.
Literasi media, lanjut dia, akan membuat masyarakat semakin dewasa dalam memanfaatkan, membaca, dan menggunakan informasi yang diperoleh dari media.
"Kalau hoax kemudian ditelan mentah-mentah oleh publik, akan membahayakan kehidupan kita," tambah mantan Sekjen PDI Perjuangan itu.
Meski demikian, Seskab yakin pada saatnya masyarakat akan jenuh terhadap
hoax yang mendominasi. Ia merujuk pada tren di Eropa di mana masyarakat sudah mulai mengurangi penggunaan media sosial karena kejenuhan.
Seskab menegaskan keperluan mengembangkan kultur dan budaya Indonesia dalam menghadapi serbuan informasi sesat. Salah satunya dengan mendorong pemantapan ideologi Pancasila, Dewan Kerukunan Nasional, dan hal-hal yang berkaitan dengan bela negara.
Dia yakin kebebasan media dan media sosial tidak lagi menjadi ancaman atau kelemahan bagi Indonesia di masa mendatang. Bahkan, media sosial bisa dimanfaatkan sebagai kesempatan.
Dalam konteks prioritas pembangunan nasional, Seskab mengajak media berperan aktif dalam menyebarkan dan menyampaikan apa yang sudah dilakukan pemerintah sekaligus memasok informasi tentang ketimpangan, kemiskinan, dan ketidakadilan yang masih terjadi.
"Dengan masukan dari pers atau dari media, pemerintah bisa mengambil langkah-langkah sehingga ada pertemuan atau kesesuaian antara apa yang dibangun oleh media dan juga apa yang perlu dilakukan oleh pemerintah," pungkas Seskab.
[ald]
BERITA TERKAIT: