Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wenseslaus Manggut mengingatkan, konten hoax cenderung tampil berlebihan, bombastis, dan sengaja dirancang untuk memancing emosi pembacanya.
Berbeda dengan media profesional yang selalu memiliki pola kerja jelas, mulai dari sumber informasi bertanggung jawab hingga proses redaksi yang bisa dipantau.
"Kalau mau cari berita yang benar, carilah di sumbernya yang tepat. Kalau kita menganggap informasi di medsos itu sudah enggak
true ekosistemnya, maka jangan mencari di tempat yang gelap, carilah di tempat yang terang," kata Wenseslaus dalam podcast bersama JCCNetwork dikutip Rabu, 3 Desember 2025.
Ia mengingatkan publik tidak mudah terjebak pada kegaduhan di media sosial. Jika ada informasi yang mencuat dan tidak diikuti klarifikasi media kredibel, patut dicurigai sebagai
hoax.
Oleh karenanya, masyarakat diimbau langsung mengakses situs resmi media ketika ragu terhadap sebuah kabar.
Sementara itu, kolaborasi antara media dan berbagai lembaga merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindari. Bentuk kerja sama itu bisa ditempatkan pada berbagai level, mulai dari penyediaan informasi, pengembangan sumber daya manusia, hingga kolaborasi bisnis yang wajar dalam ekosistem industri media.
Menurutnya, penanganan
hoax membutuhkan alat bantu verifikasi di lapangan. Ia mencontohkan situasi ketika
hoax muncul dari daerah yang jauh seperti di Aceh atau Jayawijaya, Papua, sementara redaksi tidak memiliki perwakilan langsung di wilayah tersebut.
Dalam kondisi itu, aparat kepolisian, pemerintah daerah, maupun organisasi masyarakat sipil setempat dapat memberikan klarifikasi awal untuk memastikan kebenaran informasi.
“Kerja sama dengan pemerintah, korporasi, kepolisian, maupun kejaksaan penting dalam konteks penanganan
hoax dan ujaran kebencian,” pungkasnya.
BERITA TERKAIT: