Fenomena tersebut menjadi momentum Komite I DPD RI untuk menyusun RUU tentang Etika Penyelenggara Negara. Hari ini, Rapat Dengar Pendapat untuk membahas RUU tersebut digelar di Ruang Rapat Komite I, Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta.
Ketua Komite I DPD, Ahmad Muqowam, menyatakan, RUU tentang Etika Penyelenggara Negara dan RUU tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Wilayah Kepulauan menjadi domain dari DPD RI di Renstra 2017.
"Komite I DPD akan targetkan agar dapat selesai di masa sidang 2017 ini," ujar Muqowam, dalam rilis yang dikirimkan Setjen DPD RI.
Direktur Eksekutif Reform Institute, Yudi Latif, diundang dalam RDP tersebut. Yudi menyatakan, tatanan dalam ruang publik saat ini mengalami penurunan, seolah tidak mampu mengatasi konflik. Berbagai disinformasi (hoax) beredar. Namun, dia tegaskan, satu nilai atau agama tertentu tidak bisa dipaksakan menjadi tata nilai.
"Harus ada konsensus dan mengkristal pada Pancasila atau turunan dari nilai moral Pancasila," jelasnya.
Yudi mengatakan, RUU tentang Etika Penyelenggara Negara diperlukan di setiap instansi. Harus ada kode etik yang membatasi perilaku penyelenggara negara, bahkan perlu dibentuk mahkamah etik untuk menilai dan memberikan sanksi yang tepat setiap pelanggaran perilaku penyelenggara negara.
"Saat ini kita belum ada landasan hukum yang tepat yang mendasari pelanggaran etika tersebut," imbuh Yudi.
Peneliti sosial politik, Enceng Shobirin Nadj, menyatakan, RUU itu diperlukan untuk mengatur penyelenggara negara agar mereka bisa menjalankan fungsi sesuai aturan, dari norma berubah menjadi hukum positif.
"Bicara hukum dan kebijakan ada tiga unsur yaitu konten, struktur, dan kultur. Etika ada di wilayah kultur maka dia harus ditransformasikan ke dalam konten dahulu," ujarnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: